Presiden Gus Dur Pernah Gunakan Kardus Bawa Pakaian Melawat Ke China
Laduni. ID, Jakarta - Siapa tak kenal Kyai Abdurrahman Wahid atau populer disapa Gus Dur. Figur yang komplit dan kerap tampil elegan di pentas internasional. Sosok kyai yang pantang meninggalkan tradisi, bahkan bangga dengan kultur kesantriannya yang melekat.
Sebagai santri, Gus Dur terbukti telah mempromosikan pesantren dan pola pikir kiai melalui tulisan-tulisannya di Kompas, Suara Pembaruan, Prisma hingga Tempo. Di era 1970-an, kiai dan pesantren lebih banyak dipandang sinis oleh para muslim modernis dan Indonesianis. Melalui berbagai tulisan Gus Dur, citra tersebut dipatahkan.
Gus Dur telah memperkenalkan mutiara-mutiara terpendam di pesantren: para kiai dengan corak pemikiran dan kelebihan masing-masing. Kolom tentang para kiai ini dimuat secara berkala di Tempo lalu dibukukan dengan judul “Kiai Nyentrik Membela Pemerintah”. Adapun tulisan Gus Dur dengan ragam tema lebih luas dan beragam dikumpulkan di buku “Melawan Melalui Lelucon”.
Melalui ulasan tentang para kiai, Gus Dur tampil sebagai seorang santri yang memperkenalkan (kembali) guru-gurunya ke khalayak ramai. Tulisan yang cerdas, cermat, menggelitik dan padat (sesuai standar Tempo).
Kelak, ketika menjadi presiden, Gus Dur tetap mempertahankan jiwa kesantriannya. Itu sebabnya, beliau enjoy saja mengundang para sahabatnya (tentu yang sudah jadi kiai) itu untuk datang ke istana negara.
Karena jiwa santrinya yang melekat bersama dengan kepolosan-kepolosan yang tampak “ndeso” ini, seorang rohaniawan Katolik yang juga cendikia Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Romo Prof. Franz Magnis Suseno sempat heran dan bingung melihat tumpukan kardus Sarimi yang ditempatkan di sebelah ruang makan Istana Negara.
Memuat Komentar ...