Abu Said Abul Khair: Karomah Sesungguhnya adalah Berkhidmat pada Sesama
Laduni.ID Jakarta - Ada banyak orang yang kurang tertarik mengkaji tasawuf dengan alasan, kita sekarang ini mesti berpikir masa depan dan peradaban yang lebih maju, tasawuf itu seolah membawa kita pada kelambanan. Benarkah begitu?
Dari perjalanan saya, mengintip sedikit pemikiran dan ide-ide dasar para tokoh sufi, saya justru melihat sebaliknya. Pemikiran mereka itu ibaratnya tambang yang tidak lengkung oleh waktu. Kita hanya perlu menggalinya lebih dalam lagi dan mengelaborasi dengan situasi hari ini. Apakah itu mungkin? Kalau saya pribadi optimis.
Baca Juga: Kisah Karomah Syaikh Abu Said Abul Khair, Tundukkan Singa dengan Tatapan Mata
Adalah Syafi’i Kadkani, salah seorang yang membuka pikiran saya ke arah sana. Ia seorang adib, penyair, sekaligus pengkaji syair-syair sufistik klasik. Selain menulis banyak buku kumpulan puisi miliknya sendiri, ia juga menghadirkan kembali karya-karya tokoh sufi klasik dan membingkainya dengan gaya apik dan menarik. Buku biografi tokoh yang biasanya terkesan membosankan, menjadi segar, bahkan kita seperti menikmati novel. Apalagi dibumbui judul-judul yang nyastra, misalnya buku “Ceshidan-e Tam-e Wakt” kira-kira kalau dialihbahasakan jadi: “Menyesap Aroma Waktu”.
Buku ini berkisah tentang hidup dan karya Abu Said Abul Khair, seorang tokoh sufi klasik abad ke 10-11 yang berasal dari Mihne atau Miana, dahulu kawasan Khorasan Raya yang hari ini menjadi bagian negara Turkamanistan. Selain buku tentang Abu Said, Kadkani telah menulis lima seri para tokoh tasawuf lainnya dengan metode sama, di antaranya ada nama Bayazid Bastami dan Syeik Abdullah Al-Ansari. Sebelumnya, Syafi’i Kadkani juga telah memberikan Tashih dan pejelasan atas karya sufi-sufi besar, seperti: Athar Nisyaburi dan Jalaluddin Rumi.
Memuat Komentar ...