Jalan Ibn Rushd
Laduni.ID, Jakarta- Ada asumsi di sebagian kalangan: jika seseorang sudah beragama, nalarnya akan berhenti. Jika mau tetap menjadi manusia bernalar, rasional, tinggalkan agama. Hanya ada dua pilihan: agama atau nalar. Tidak bisa dua-duanya.
Cara pandang "either/or," "imma hadza aw dzak," atau-ini-atau-itu semacam ini dianut oleh sebagian kalangan di dalam Islam sendiri, maupun kalangan yang sudah meninggalkan agama sama sekali. Ada sebagian kalangan Islam yang takut sama sekali pada akal, dan menakut-nakuti orang-orang yang memakai pendekatan rasional dalam beragama.
Saya amat tidak setuju dengan pandangan semacam ini. Peradaban Islam sejak masa yang paling dini sudah menunjukkan bahwa seseorang bisa beragama dan tetap menggunakan nalar. Ajaran Islam sendiri mendorong pemeluknya untuk beragama dengan nalar; tak boleh "anut-grubyug."
Peradaban pemikiran Islam sejak dulu menunjukkan capaian cemerlang di bidang penalaran ini. Saya mau ambil satu contoh: Fakhr al-Din al-Razi (w. 1210), "the great mind" dari Persia yang hidup di abad ke-12. Ia meninggalkan warisan intelektual yang menakjubkan, salah satunya adalah kitab bertitel "al-Mathalib al-'Aliyah Min al-'Ilm al-Ilahi," maha-karya dalam bidang teologi Asy'ariyah. Membaca buku ini, saya layaknya seorang turis yang ngungun-takjub di depan pemandangan ajaib; saking takjubnya, ia seperti seseorang yang "kesambet oyot mimang" (terkena sihir akar mimang).
Memuat Komentar ...