Pintu Ijtihad ditutup, Dunia Jadi Stagnan dan Redup

 
Pintu Ijtihad ditutup, Dunia Jadi Stagnan dan Redup
Sumber Gambar: foto (ist)

Laduni.ID Jakarta - Kemarin malam aku kedatangan serombongan tamu, laki-laki dan perempuan, dalam rangka silaturrahim. Diantara mereka aku melihat seorang pemuda yang wajahnya aku kenal. Dia mengaku berasal dari daerah Lubuklinggau. Sumatera Selatan, tetapi lama tinggal di Jawa dan mesantren di Jawa Timur. Dia seorang budayawan muda sekaligus peminat tarekat dan sastra. Konon dia tengah menulis buku sejarah Tarekat-tarejat di Indonesia.

Baca Juga: KH. Husein Muhammad: Ketidaktahuan, Akar Intoleran

Sesudah ramah tamah dan celoteh ringan dengan semua, perbincangan berlangsung antara aku dan dia. Tamu yang lain menjadi pendengar yang baik. Aku bicara tentang geneologi keilmuan masyarakat pesantren. Dia menyebutnya "Sanad". Ini khas model keilmuan  Pesantren. Aku menyebutnya khas masyarakat tradisional.

Lalu bicara soal Islam masuk ke Indonesia berikut fase-fasenya. Gus Dur menyebutnya gelombang-gelombang. Dari Islam Sufistik ala Wihdah al Wujud, lalu Fiqih Sufistik, ala al-Ghazali, lalu Fiqih plural dan kini tengah menghadapi Fiqih Tunggal ala Wahabisme.

Selanjutnya aku lebih fokus bicara tentang Tasawuf atau Sufisme Islam. Aku bilang Sufisme Islam mendapat pengaruh hampir sepenuhnya dari filsafat Neoplatonisme, gagasan Plotinus. Adalah Khalid bin Yazid, cucu pendiri dinasti Umayyah di Damaskus, yang membawa ajaran itu sesudah belajar di Iskandaria, Mesir. Plotinus lahir di kota itu lalu ke Athena, kembali dan menyusuri jejak manusia spiritualis di Syam, khususnya di Siria, lalu ke Persia. Petualangannya meninggalkan jejak pikiran-pikiran Platon dan Aristo di komunitas muslim dengan sangat mengesankan. Jejak Filsafat dan Tasawuf, Mistisisme Timur. Keduanya menarik hati para pelajar muslim di Syam, sebuah daerah yang kemudian menjadi pusat pertemuan peradaban dunia.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN

 

 

Tags