In Memoriam Kiai Ahmad Muzammil

 
In Memoriam Kiai Ahmad Muzammil
Sumber Gambar: Facebook Gwen

Laduni.ID, Jakarta - Tubuhnya tak terlalu tinggi bahkan cenderung pendek. Tapi gempal. Kemana-mana pakai sarung. Ketika bicara, logat dan dialek Bangkalannya tak bisa ditutupi, sangat kental dan terasa. Sebagaimana kecenderungan kiai Pantura dan Tapal Kuda yang humoris dan penuh kelakar, ia pun sama, setali tiga uang.

Dialah Kiai Ahmad Muzammil. Lahir di Bangkalan Madura, mondok di Pesantren Sukorejo Situbondo, mendirikan Pesantren Rohmatul Umam di Bantul Yogyakarta dan wafat di sana.

Saya mengenalnya sudah cukup lama, sejak sama-sama mondok di Pesantren Sukorejo Situbondo pertengahan tahun 80-an. Ia mondok tahun 1984 dan saya mondok tahun 1987. Ia mulai dari kelas 4 Madrasah Ibtidaiyah dan saya langsung kelas 1 Madrasah Diniyah Wustho setingkat dengan Madrasah Tsanawiyah.

Saya dan Kiai Muzammil juga sama-sama sekolah rangkap. Bukan hanya belajar di "Madrasah" tapi juga belajar di "Sekolah". Kami sama-sama belajar di Madrasah Diniyah Wustho dan SMA. Bedanya, di SMA saya jurusan A1 (Fisika-Kimia), dan Kiai Muzammil di jurusan A3 (IPS). Di madrasah, kami memakai sarung dan di sekolah memakai celana panjang.

Ketika saya baru datang di Pesantren Sukorejo, Kiai Muzammil sudah masyhur dengan kealimannya. Ia membintangi lomba baca kitab kuning, mulai dari kitab-kitab kecil seperti syarah Jurumiyah hingga Kifayatul Akhyar. Namun, saya tak pernah beradu dalam lomba baca kitab kuning di panggung dengan beliau. Ketika saya aktif dalam lomba baca kitab kuning dan lomba hafalan alfiyah, beliau sudah tidak aktif, "pensiun dini".

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN