Pondok Versus Universitas
Laduni.ID Jakarta - Menurut hemat saya, misalnya ada seorang kiai/alim yang mempersyaratkan bahwa untuk jadi ulama yang layak berfatwa dan menjadi rujukan umat harus pernah modok (sekian tahun) khususnya pesantren di Jawa, memiliki hafalan yang baik seperti Al-Qur’an, alfiyyah dan yang lainnya, harus memiliki sanad (transmisi) keilmuan yang jelas, harus merasakan pahit getir perjuangan dalam menimba ilmu dan yang lainnya, ini sah-sah saja, tidak ada yang salah. Itu syarat jadi ulama “versi beliau” sesuai dengan keilmuan yang beliau miliki, serta pengalaman dan tajribah (experimen) yang pernah beliau alami.
Bahkan seandainya pun beliau berpendapat bahwa metode mondok lebih realistis (bukan berarti menafikan)dalam ‘menelorkan’ ulama daripada kuliah di universitas, itu juga sah-sah saja.Namanya juga pendapat, selama argumentatif, ya boleh saja. Perkara orang lain tidak sependapat atau memiliki pandangan berbeda, itu perkara lain. Silahkan saja.
Syarat “mondok” di sini, yang saya pahami, maksudnya seorang belajar dengan metode “mulazamah” langsung duduk di hadapan para kiai/syekh di sebuah pondok pesantren untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu dimulai dari yang paling dasar sampai yang paling tinggi, dari satu kitab ke kitab yang berikutnya sampai benar-benar khatam dan paham. Di samping itu, diiringi dengan penekankan hafalan, seperti Al-Qur’an, hadis, dan mutun-mutun ilmiyyah seperti Alfiyyah dan yang lainnya. Sisi lainnya adalah “keberkahan” yang menurut sebagian pihak, mondok memiliki nilai lebih karena beberapa faktor yang mungkin tidak didapatkan di universitas, seperti keprihatinan, kesusahan, tirakat yang demikian berat (yang pernah mondok insya Allah tahu) serta adab dan ta’dzim kepada guru.
Memuat Komentar ...