Saling Tahu Diri untuk Menghargai Kepakaran Ahli
Laduni.ID, Jakarta – Saat Syekh Izzuddin bin Abdussalam datang di Kairo, Syeikhul Madrasah al-Kamiliyah al-Hafizh al-Mundziri [penulis al-Targhib wat Tarhib] enggan berfatwa. Bagi beliau, setelah adanya Sulthanul Ulama maka otoritas fatwa langsung pindah ke tangannya.
Saat masih di Damaskus, Syekh Ibn Abdissalam itu ngajar hadis, dan saat tiba di di Kairo beliau enggan lagi mengajar hadis tapi justru ngaji di majelisnya al-Hafizh al-Mundziri. Kalau ada permasalahan pelik soal hadis beliau akan bertanya pada al-Hafizh.
Ini soal tahu diri. Tahu posisi. Di Mesir, kepakaran masih dipegang erat. Banyak Masyayikh enggan bicara di luar kapasitasnya. Sidi Syekh Ahmad Ikhwani pernah cerita secara langsung bahwa saat istisyarah risalah, jika tanya fiqh hadis pada Syekh Ma'bad [pakar ilal] akan dioper bertanya langsung pada Syekh Mustafa Abu Imarah [pakar fiqh hadis], dan juga sebaliknya.
Betapa masing-masing memiliki sisi paling dalam. Sisi paling ia ketahui. Jika semua berbicara di wilayah yang betul-betul dikuasai, tak ada istilah matinya kepakaran.
Yang paling mengejutkan lagi adalah cerita Prof. Quraish Shihab saat di KBRI Kairo beberapa tahun silam. Beliau cerita soal kepakaran dan saling tahu diri yang sangat dijunjung dinggi di Al-Azhar. Dan itu masih betul-betul dijalankan dengan bukti sebuah perilaku elok dari Syeikhul Azhar [Grand Syekh].
Saat kunjungan di Univ. Muhammadiyah Jogja, Grand Syekh Ahmat Athayyib hendak naik ke panggung. Sebelum naik, beliau mendekati Prof. Quraish, "Maulana saya mohon izin, nanti di panggung insyaallah saya akan menjelaskan beberapa ayat".
Memuat Komentar ...