Menyoal Kembali Perzinahan dan Kumpul Kebo dalam RKUHP
Laduni.ID, Jakarta – Perzinahan dan kumpul kebo menjadi delik aduan lagi di RKUHP. Kelihatan bahwa tarik menariknya sangat alot. Tidak mudah mengubah nalar hukum warisan belanda yang sudah puluhan tahun dipakai. Bila memakai nalar hukum asli Indonesia, perzinahan dan kumpul kebo harusnya menjadi pidana umum seperti diusulkan dalam RKUHP versi sebelumnya. Di masa lalu yang melakukan perbuatan seperti itu diarak keliling kampung, ini membuktikan bahwa perbuatan semacam itu bertentangan dengan living law di Indonesia.
Kita tahu bahwa memakai helm saja diatur agar memakai helm yang memenuhi standar nasional Indonesia (SNI), bila tidak maka bisa terkena pidana. Masak "memakai" anak orang tanpa prosedur standar atau "memakai" bini orang tidak bisa terkena pidana kecuali dilaporkan oleh orang tua, suami atau anaknya? Padahal jelas sama-sama tidak merugikan orang lain secara langsung. Kalau berbicara soal potensi kerusakan, sama besar efek kerusakannya bahkan jauh lebih besar efek perzinahan dan kumpul kebo daripada sekedar tidak memakai helm SNI.
Negara ini aneh, perkawinan diatur sedemikian rupa dalam Undang-undang dengan keribetan prosedural sedemikian rupa. Ribet sekali pokoknya agar diakui negara ini. Anak yang lahir dari pernikahan yang tidak menempuh jalan prosedural yang ribet itu akan terkena hukuman yang berkonsekuensi fatal, yaitu akta kelahirannya hanya akan dicatat sebagai anak ibunya tanpa ada bapak di sana. Bayangkan betapa besar konsekuensi dari status "tanpa bapak" ini di depan meja pengadilan ketika terjadi sengketa hukum terkait waris dan semacamnya. Berbusa-busa para ahli hukum kita menjelaskan bahwa segala keribetan dan sanksi itu dibuat untuk melindungi hak dan kewajiban rakyat yang menikah atau pun anak-anak yang dilahirkan akibat pernikahan itu. Intinya ditekankan bahwa menikah bukan hanya soal ada lelaki dan perempuan yang ingin berhubungan badan.
Memuat Komentar ...