Interaksi Gus Dur dengan Buku, Musik, Seni dan Film
Laduni.ID, Jakarta – Saya sendiri bukan pelukis seperti sahabat Dhinus Mahatva atau Nandang, tapi setidaknya perjumpaan pemikiran pada persoalan filsafat, kebangsaan dan pluralisme, termasuk tema-tema lukisan dan tafsirannya ia menjadi obrolan yang selalu hadir dan mengalir begitu saja, syaratnya cukup kretek dan seruput kopi liong.
Dalam kesempatan yang begitu paripurna, Gus Dur selalu menjadi topik yang menarik salah satunya dengan mengungkapkan kembali pesan-pesan yang saya kira bukan saja relevan. Namun juga sebagai bahan kontemplasi bersama dan saya pun diberikan kesempatan terhormat untuk hadir sekedar memberi catatan kecil.
Saya masih ingat tulisan Fahry Ali dan Bahtiar Efendy dalam bukunya "Merambah Jalan Baru Islam", yang menempatkan Gus Dur dan Nurcholis Madjid dalam pemikiran Islam bercorak modernisme dan tradisional, diantara corak lainnya yang neo-modernisme dan universalisme. Sekalipun tulisan tersebut mendapat kritik yang tajam dari berbagai pihak, tentu ini menjadi praktik diskursif yang menarik. Seperti yang juga sama dilakukan Greg Berton dalam pandangannya dengan menempatkan Djohan Efendy, Nurcholis Madjid dan Gus Dur sebagai perintis Neo-modernisme.
Kembali menyoal Gus Dur dari sisi lain saja. Karena temanya seni saya coba narasikan bagaimana Gus Dur berinteraksi dengan buku, musik, seni dan film.
Memuat Komentar ...