KH Husein Muhammad: Sejenak Mengenang Rumi Pulang (bagian 4)
Laduni.ID, Jakarta – Sambil masih dalam posisi berdiri aku melakukan ritual spiritual sepert tahlil, bacaan zikir yang lain dan diakhiri dengan do’a pengampunan dan harapan, sebagaimana tradisiku bila berziarah ke kuburan atau dalam ritual-ritual lainnya.
Hari Pebriantok, teman yang menuntunku dengan setia, ikut mendampingiku. Dengan berbisik, aku bilang, “Hari tolong, bisakah ambil kamera dan mengambil gambarku?” Aku berharap ada ruang untuk mengambil gambarku di depan Maulana. “Di sini siapapun tidak boleh memotret. Lihat itu, Kiyai, ada penjaga yang terus mengawasi para peziarah.” Aku menoleh, benar, ada penjaga yang duduk di atas kursi dengan mata tajamnya. Meski kecewa, aku maklum. Boleh jadi ini kebijakan yang baik. Bila semua orang boleh mengambil gambar, suasana ruangan itu pasti akan sangat heboh. Aku meneruskan tahlilku sampai selesai.
Ketika aku membalikkan tubuhku, seorang pemuda menyampaikan salam, sambil mengatakan, “do’amu, bagus.” (Secara spontan menjawab) “Oh, anda mendengarkan bacaan aku rupanya ya?” Dia mengangguk sambil tersenyum. Kami berkenalan dan bercakap-cakap dalam bahasa Arab. Aku bertanya tentang tempat istirahat Maulana ini.
“Kapan museum ini dibangun?” kataku. Dia bilang, “Dulu kuburan maulana sederhana, tidak semegah dan seanggun sekarang. Belum menjadi museum. Dulu di dekat dan di latar depan kuburan dijadikan tempat tarian Sema. Kemudian dilarang oleh pemerintahan Kemal. Konon bangunan ini baru menjadi museum pada 1926 dan kemudian kembali menjadi pusat kegiatan Whirling Dervishes,” katanya.
Memuat Komentar ...