Penceramah Itu Bukan Mufti
Laduni.ID, Jakarta – Menjadi penceramah itu mulia, karena sudah menyampaikan ajaran agama meski satu ayat. Hikmahnya banyak orang tercerahkan oleh apa yang disampaikannya. Perlu mengapresiasi keistiqomahan para penceramah dalam menyampaikan ajaran. Sebab tablig itu perintah, dan menghargainya pun adalah keutamaan.
Tidak semua orang alim pandai ceramah, tetapi juga penceramah harusnya alim. Keharusan menguasai ilmu-ilmu agama Islam menjadi persyaratan utama, agar tidak keluar dari kebenaran. Disamping penguasaan ilmu, penceramah juga wajib beradab, tidak sombong, tidak songong. Apalagi keras, seoalah tengah mewakili bahwa agama berisi ajaran kekerasan. Sekali lagi Islam itu rahmat sekaligus petunjuk yang benar.
Empat hal dalam penyampaian ceramah agama, yang selama ini dipegang dan diwariskan oleh Wali Songo dan para ulama. Pertama, adalah ruuhuddin atau semangat keagamaan. Dalam hal ini, Kiai Said Aqil Siradj mengatakan bahwa penekanan dalam semangat beragama bukan berarti mengkonstitusikan agama menjadi dasar negara atau melegalformalkan agama. Semangat keagamaan yang sesungguhnya adalah terletak pada akhlak. “Innama buistu liutammima makarimal akhlaq”, Agama tanpa akhlak bukanlah prinsip beragama yang sesungguhnya.
- Baca juga: Fenomena Seorang Penceramah
Semangat kedua yang perlu dilestarikan adalah semangat nasionalisme. Kali ini contoh yang diangkat adalah sikap dari Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama yang berpesan kepada anaknya Kiai Wahid Hasyim agar tidak mempertentangkan antara Islam dan nasionalisme. Karena menurut Kiai Hasyim, dua khazanah itu saling melengkapi. “Islam menjadi kuat di suatu kawasan karena ada semangat kebangsaan yang menyala di dada, dan bangsa ini bisa menjadi kokoh karena diisi dengan nilai-nilai Islam.”
Memuat Komentar ...