Antara Musik, Hukum dan Peradaban
Laduni.ID, Jakarta - Belakangan ini timbul respons atas maraknya sikap beragama kalangan tertentu (artis, musisi dan tokoh publik) yang menampilkan "kebaruan" beragama, berdasarkan perspektif hijrah. Kebaruan beragama yang dimaksud adalah seperti keinginan mereka hidup sesuai syariat Islam saat zaman Rasulullah SAW hidup. Kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis, adalah jargon fundamental dalam menghadirkan Islam sebagai agama yang tampak kaku dan keras. Prinsip pemurnian tauhid, bagi kalangan mereka adalah menjalankan agama seratus persen seperti zaman nabi masih hidup dan menyatakan konsistens atas syariat yang sudah jelas dalilnya. Menurut pandangan kelompok Wahabi, bahwa agama itu dasarnya adalah harus ada dalilnya yang sesuai persis dengan perilaku sang rasul.
Dalam catatan atas perilaku-perilaku beragama semacam itu, saya menangkap ada semacam kedangkalan paham agama, dan ada kekeliruan epistemologis ketika memahami agama harus seperti saat Rasulullah SAW masih hidup. Padahal hidup tetap mengikuti perkembangan zaman, beriringan dengan mengamalkan ajaran agama. Lalu di mana letak terpisahnya antar keduanya itu? Kita shalat apakah tidak sama dengan shalatnya Rasulullah, padahal shalat kita berdasarkan ilmu dan paham akan syarat-syarat dan rukunnya. Kita menjalankan syariat Islam sudah pasti sesuai tuntutan Rasulullah SAW, lalu dimanakah letaknya kita harus kembali ke Al-Qur'an dan Hadis, dan pada posisi apakah kita harus seperti zamannya beliau hidup?
Memuat Komentar ...