Fiqih Pengawasan Partisipatif (bagian 1)

 
Fiqih Pengawasan Partisipatif (bagian 1)
Sumber Gambar: Ilustrasi/Anton Raharjo - Anadolu Agency

Laduni.ID, Jakarta – Pengawasan pemilu merupakan sebuah keniscayaan dalam setiap kontestasi demokrasi di Indonesia. Tanpa sebuah pengawasan tentunya kualitas pemilu/pemilihan tidak bisa dipertanggung jawabkan, bahkan akan menghasilkan kualitas yang buruk. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Pemilu maupun pemilihan, di mana skema pengawasan semakin diperkuat melalui berbagai aturan main baik dalam perspektif hukum pemilu maupun aturan teknis lainnya.

Namun tidak cukup pengawasan dilakukan oleh penyelenggara pemilu, pemerintah maupun peserta pemilu itu sendiri, harus didorong oleh seluruh lapisan masyarakat terutama pemilih (yang memiliki hak suara). Tentunya kita pun tidak bisa mengabaikan stakeholder sebagai penyambung lidah masyarakat baik dalam bentuk komunitas, organisasi kepemudaan, organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan maupun kalangan akademisi yang sudah banyak bersentuhan dengan lembaga pengawas di tingkat kabupaten/kota sampai dengan tingkat kelurahan.

Di sisi lain, dalam UU Tentang Pemilu disebutkan bahwa pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Ini artinya tujuan penyelenggaraan pemilu menegakkan kemaslahatan sesuai dengan tujuan syari’at Islam (maqoshid as-syari’ah). Walau demikian, partisipasi dalam pemilu merupakan hak warga negara yang dijamin oleh konstitusi, bukan suatu kewajiban. Pasal 28D UUD RI Tahun 1945 menyatakan “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN