Hukum Mempelajari Ilmu Mantiq

 
Hukum Mempelajari Ilmu Mantiq
Sumber Gambar: David Cassolato dari Pexels (foto ilustrasi (

Laduni.ID, Jakarta – Mantiq sebagai ilmu pertama kali disusun secara rapi oleh Aristoteles (384-322 SM), seorang filosof Yunani. Ketika agama Islam telah tersebar di Jazirah Arab dan dipeluk secara meluas sampai ke timur dan barat, perkembangan ilmu pengetahuan pun mengalami kemajuan yang pesat. Puncaknya terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Di periode inilah terjadi penerjemahan ilmu-ilmu filsafat Yunani kedalam bahasa Arab, termasuk ilmu mantiq.

Dalam Islam, ilmu mantiq mulai di dilakukan oleh Al-Farabi, salah satu filsuf Muslim yang sering dinyatakan sebagai maha guru kedua dalam ilmu pengetahuan. Pada masa Al-Farabi ilmu
mantiq dipelajari lebih rinci dan dipraktekkan, termasuk dalam pentasdiqan qadhiyah.
Selain itu, para ulama juga semakin mendalami, menerjemahkan dan mengarang karya bidang ilmu mantik. Di antaranya Abdullah Ibn Al-Muqaffa’, Yaqub Ibn Ishaq Al-Kindi, Abu Nashr Al-Farabi, Ibn Sina, Abu Hamid Al-Ghazali, Ibn Rusyd Al-Kuthubi.

Lantas, bagaimana hukum mempelajari ilmu logika/ mantiq ini? Bukankah ia adalah ilmu baru dan berasal dari filosof Yunani?

Imam al Akhdhari menyebutkan hukum mempelajari mantiq dalam Kitab Sullam Munawwraq nya:

ﻭ ﺍﻟﺨﻠﻒ ﻓﻲ ﺟﻮﺍﺯ ﺍﻹﺷﺘﻐﺎﻝ * ﺑﻪ ﻋﻠﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﺍﻷﻗﻮﺍﻝ

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN