Tetap Ikhlas Berharokah di NU
Laduni.ID, Jakarta – Sejak 1991, saya mengenal NU saat masih usia 12 tahun. Yang dikenali hanya lambang NU, itu pun di kalender yang terpampang di rumah kakek. Selain itu adalah dua figur ulama, pertama Gus Dur dan yang kedua KH. Achmad Siddiq. Kesan awal terhadap figur kiai tersebut adalah kagum, dan mengidolakan. Dua orang itu adalah Rois 'Am dan Ketum PBNU hasil Muktamar NU di Situbondo 1984.
Anak sekecil itu hanya menaruh kagum saja, tidak diteruskan untuk mencari pengetahuan tentang riwayat kedua tokoh tersebut atau terhadap NU, intinya kenal NU itu hanya pada lambang NU. Seolah lambang saja sudah membuat takjub saya yang melihatnya.
Jelang Muktamar NU di Cipasung, Tasikmalaya 1994, Ayahku beli koran hanya untuk melihat berita NU menuju perhelatan Muktamar, hampir tiap pekan pastinya membeli koran, itu juga kalau beritanya tentang NU, lain itu tidak menarik.
Kebetulan saya baca koran yang tergeletak di kursi depan itu berita Muktamar NU, sekecil itu saya baca habis, lengkap dengan mengamati gambar-gambarnya. Betapa hebatnya perhelatan itu sehingga ada gambar Tank Baja yang berderet di depan Pesantren Cipasung, dalam fikiranku ini sungguh luar biasa, sampai-sampai ABRI ikut mengamankan.
Kemudian ketika Gus Dur, yang saya idolakan itu menang setelah pemungutan suara, anehnya saya ikut senang, namun beberapa hari setelah itu ada PBNU tandingan, Ketumnya, KH. Abu Hasan justru saya kesal ketika pengurus menjadi dua. Setelah Muktamar NU di Cipasung tersebut, saya menjadi tidak tertarik pada NU.
Memuat Komentar ...