Membangun Ketaatan pada Pemimpin Bukan Berarti “Menjilat”
Laduni.ID, Jakarta - Karakter kaum Khawarij sejak dulu selalu menentang kesepakatan yang memang tidak mereka setujui. Menolak tunduk, dan menolak taat adalah ciri dasar dari kelompok Khawarij. Sebab, kehendak mereka hanya hukum Allah yang harus ditegakkan. Padahal secara tafshil dari ketentuan hukum tersebut tidak dilihat sama sekali. Akibatnya selalu memvonis salah, karena ketidakpahaman atas manthuq dan mafhum-nya suatu dalil, aturan atau ketetapan (wadlai').
Muslim Nusantara diajarkan moderat (tawassuth), memilih untuk merangkul perbedaan, tidak mengadu domba kanan dan kiri, menengahi sekaligus istiqomah di jalan kebenaran. Terhadap jalan kebenaran itulah kita taat. Kita pun diajarkan tawazzun (seimbang), yakni agar melihat sesuatu itu secara proporsional dan tidak lupa melihatnya pada konteks, bukan hanya teks. Cara pandang pada teks akan berujung multi paham, multi tafsir. Nanti bisa saling hujat. Tapi jika melihat konteksnya juga, orang melihatnya dengan lebar dan luas. Arahnya ke mana dan tahu tujuannya apa.
Kita pun diajarkan taat pada pimpinan, selama itu lurus dalam kebenaran. Lalu, bagaimana jika pemimpin menentukan sebuah kebijakan yang salah? Perlu diketahui, karena kita negara demokrasi, kebebasan berpendapat, kebebasan berpikir, kebebasan bicara selalu dilindungi konstitusi, maka gunakan itu sebaik mungkin dengan menerapkan mekanisme yang ada. Jika keberatan pada aturan, maka bisa diajukan di pengadilan, sebagaimana prosedur yang berlaku. Tapi ketika apa yang dilakukan oleh pemimpin Indonesia itu adalah berupa kebijakan yang kesalahanya fatal karena melangggar UUD dan Pancasila, maka turun ke jalan adalah langkah selanjutnya. Dan langkah ini juga bisa dimaklumi dalam negara demokrasi.
Memuat Komentar ...