Pengecualian dalam Qawaid Fiqhiyah

 
Pengecualian dalam Qawaid Fiqhiyah
Sumber Gambar: foto ist

Laduni.ID, Jakarta - Qawa’id merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan.

Ahmad Warson menambahkan bahwa, kaidah bisa seperti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan qaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan surat An-Nahl ayat 26 : “ Allah akan mengahancurkan rumah-rumah mereka dari pondasinya. ”

Adapun pengertian qawa’id fiqhiyah secara istilah terdapat berbagai definisi, dua diantaranya yang menjadi pendapat populer : “Hukum syara’ tentang peristiwa yang bersifat mayoritas, yang darinya dapat dikenali hukum berbagai peristiwa yang masuk kedalam ruang lingkupnya.”

“Dasar fiqih yang bersifat universal, mengandung hukum-hukum syara’ yang bersifat umum dalam berbagai bab tentang peristiwa-peristiwa yang masuk kedalam ruang lingkupnya.”

Berdasarkan definisi-definisi diatas maka ulama terbagi dua dalam memaknai qawa’id fiqhiyah berkenaan dengan perbedaan mereka dalam memandang keberlakuannya, apakah bersifat kulii (menyeluruh/universal) atau aghlabi (kebanyakan).

Bagi ulama yang memandang bahwa qawa’id fiqhiyah bersifat aghlabi, mereka beralasan bahwa realitanya memang seluruh qawa’id fiqhiyah memiliki pengecualian, sehingga penyebutan kulli terhadap qawa’id fiqhiyah kurang tepat. Sedang bagi ulama yang memandang qawa’id fiqhiyah sebagai bersifat kulli, mereka beralasan bahwa pada kenyataan pengecualian yang terdapat pada qawa’id fiqhiyah tidaklah banyak. Di samping itu, mereka juga beralasan bahwa pengecualian (al-istisna’) tidak memiliki hukum sehingga tidak mengurangi sifat kulli pada qawa’id fiqhiyah.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN