Mengapa saudara-saudara mengeluh padahal seharusnya sejak dari Tanah Air saudara-saudara sudah mempelajari situasi Arab Saudi dan siap mental untuk mengalami udara panas
Gus Dur, yang dikenal sebagai Bapak Tionghoa Indonesia, berperan penting dalam mencabut Intruksi Presiden (Inpres) No. 14 Tahun 1967 yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Soeharto. Inpres tersebut melarang segala bentuk perayaan Imlek dan praktik budaya Tionghoa di ruang public. Larangan ini memaksa masyarakat Tionghoa menjalankan tradisi dan budaya mereka secara tersembunyi selama 32 tahun.
Kalender bukan hanya soal hitung-hitungan hari/tanggal/tahun serta perayaan hari liburnya, bukan pula foto-foto caleg dan janji-janji yang terpampang di halaman mukanya. Ia berkaitan dengan sejarah dan peradaban, dan urusan politik ketika kalender itu ditetapkan.
Di zaman kolonial, kaum Arab, Tionghoa, dan India menempati kasta kedua setelah kaum Eropa. Mereka ditempatkan dalam perkampungan khusus sesuai etnis, yaitu Kampung Arab, Pecinan dan Pekojan (berasal dari kata Khauja atau maulana alias tuan). Kampung mereka dipisahkan dan diberi jarak agar tidak ada pembauran antara pendatang dengan kaum pribumi
Masyarakat Tionghoa memiliki paguyuban-paguyuban yang menghimpun dana dari para anggotanya. Sehingga, urusan sumbang-menyumbang, mereka sulit dicari tandingannya.
Tulisan ini mencerita tentang seorang warga Tioghoa yang mengalami barokahi doa Gus Miek. Seorang warga Tionghoa bercerita, "Gus Miek itu luar biasa..." begitu kalimat yang pertamakali ia ucapkan.
Kisah saat orang Tionghoa hutangnya lunas berkat ijazah Kiai Ahmad Watucongol.
Tan Djin Sing adalah keturunan bangsawan Jawa yang menjadi Tionghoa, beliau pernah menjabat sebagai Bupati Yogyakarta. Kecakapannya benar2 diatas rata2 pada saat itu, selain mampu berbahasa Hokkian, Jawa dan juga Melayu, Djin Sing juga belajar bahasa Belanda dan Inggris. Bagi kalangan Tionghoa, beliau adalah pimpinan / tokoh yang sangat dihormati.