Pada masa kesultanan Aceh, dayah menawarkan tiga tingkatan pengajaran, yakni rangkang (junior), balee (senior), dan dayah manyang (universitas). Di beberapa dayah hanya terdapat rangkang dan balee, sedangkan di tempat lain hanya ditemui tingkat dayah manyang saja. Meskipun demikian di tempat tertentu juga terdapat tiga tingkatan sekaligus, mulai junior sampai universitas.
Tentu saja perubahan sosial menunjuk kepada arah tertentu, maka dakwah Islam itu berfungsi memberikan arah dan corak terbaik terhadap tatanan masyrarakat secara terus menerus ditengah-tengah dinamika perubahan sosial, agar tidak satu segipun yang terlepas dari pengarah dakwah.
Bentuk dakwahnya bersifat tidak menggurui namun suasananya ditekankan lebih pada menciptakan ikim yang ramah dan tidak kaku. Diantara komunikasi dakwah di Dayah Warung Kopi (Darkopi), ketika azan berkumandang setidaknya dihentikan aktifitasnya dan diajak “santri Darkopi” dengan pendekatan mau’izah bilhasanah (dakwah perbuatan) dimana para pengelola dan stafnya menjalankan shalat secara berjamaah.
Sebenarnya kegelisahan sang Rektor ini secara tidak langsung telah “jawab” oleh sosok intelektual muda kampus dan alumni Dayah yang sangat peduli dalam kebangkitan dan pemberdayaan dayah, beliau merupakan Teungku Teuku Zulkhairi, tokoh muda yang giat dan gigih terhadap perkembangan dayah mengulasnya secara sepinta
Hiruk pikuk di sudut kota yang terkenal dengan kopi dengan merk Ulee Kareng. Kita tahu bahwa Kopi salah satu lambang kedamaian dan ukhuwah, kopi pahit itu pasti, menambah dengan ditambahin sedikit gula pun menjadi sempurna