Apakah Nalar Terbuka dan Tertutup itu?, begitu seorang mahasantri Ma'had 'Aly bertanya. Aku secara spontan menjawab seenaknya.
al-hâfizh hujjah alâ man lam yahfazh, (orang yang hapal menjadi argumen terhadap orang yang tidak hapal). Dengan kata lain orang yang hapal teks-teks akan selalu dapat memenangkan perdebatan atau diskusi ketika berhadapan dengan orang-orang yang hanya mengandalkan logika, nalar atau akal semata.
Tradisi menghapal tersebut terus berlangsung sampai saat ini, di banyak pusat-pusat pendidikan Islam, entah sampai kapan. Tradisi ini dipraktikkan mulai dari tingkat ibtidaiyah (dasar) sampai perguruan tinggi. Saat saya belajar di pesantren Lirboyo, Kediri,
Pertanyaannya adalah apakah dengan menjalani keduanya (hapal dan nalar) akan menghasilkan keunggulan dan kemampuan yang sama?
Untuk menjelaskan pikiran itu, Ibnu Rusyd al-Hafid, membuat analogi seorang ahli/tukang bikin sepatu dan penjual sepatu. Ahli sepatu, menurutnya bukanlah orang yang di rumah atau di tokonya tersedia banyak sepatu, atau sebutlah pemilik banyak sekali sepatu yang dengan itu orang yang datang memerlukannya akan bisa langsung memilih dan memakainya
Hikam (kebijaksanaan) dan "Asrar" (yang tersembunyi/rahasia-rahasia) tentu saja adalah hal-hal yang terdalam, yang substantif dan yang rasional, bukan yang formal, yang kulit dan yang tekstual.
Nalar inklusif (terbuka) adalah nalar yang tidak lagi bicara soal identitas, melainkan tentang ruang yang tak tersekat-sekat dan menghargai yang lain
Mana yang lebih utama? Masing-masing ada penggemarnya. Dan sebaiknya kedua-duanya.