Pada awal abad ke-9, Kekhalifahan Abbasiyah berada dalam puncak kejayaan, meskipun kekuasaannya atas daerah pinggiranseperti Ifriqiyyah mulai mengendur. Dinasti Aghlabiyah, sebagai penguasa lokal di wilayah Afrika Utara, memanfaatkan otonomi ini untuk memperluas pengaruhnya.
Ketika Belanda ke Aceh, terdapat beberapa dayah yang telah berdiri di kawasan tersebut. Ketika perang meletus, dayah memainkan peranan penting dalam perlawanan rakyat Aceh. Sultan dan para uleebalang tidak sanggup menjalankan roda kepemimpinan, jadi para tentara ingin pemimpin lain untuk melanjutkan perlawanan dalam rangka mempertahankan tanah air mereka.
Diriwayatkan dengan banyak riwayat dari Musa bin Uqbah, dari Ibnu Ishaq, dan selainnya, bahwa orang kafir Quraisy bersepakat membunuh Rasulullah SAW. Kesepakatan itu mereka sampaikan kepada Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib.
Pada masa kekhalifahan Abbasiyah, ilmu pengetyahuan mengalami puncak kejayaannya salah satunya di bidang Astronomi. Dukungan penuh Al-Makmun tidak hanya melahirkan temuan astronomi yang revolusioner pada zamannya, tetapi juga meletakkan dasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam dan Eropa.
Akhirnya pada 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro menyetujui suatu perjanjian di Magelang dan ditangkap dalam perjanjian tersebut. Dengan penangkapan Pangeran Diponegoro dengan cara licik ini, maka berakhirlah peperangan tersebut.
Pada kisaran abad 18 Masehi, masa penjajahan Belanda menjadi periode gelap bagi pendidikan di Nusantara. Pendidikan dijalankan dengan pola diskriminatif, hanya diperuntukan bagi kalangan tertentu, seperti anak-anak pegawai Belanda, kaum pedagang, dan orang asing. Sebaliknya, rakyat pribumi terpinggirkan dari akses pendidikan.
Sejarah Aceh menyimpan jejak perantau Arab yang sudah bermukim di sana sejak abad pertama hijriah. Bahkan, beberapa sumber mencatat bahwa hubungan perdagangan antara Sumatra dan Jazirah Arab telah berlangsung sejak sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Pertempuran Yarmuk, yang berlangsung pada tahun 636 Masehi, merupakan salah satu episode krusial dalam sejarah perang di wilayah Timur Tengah. Konflik ini mempertemukan dua kekuatan besar pada masa itu, yaitu Pasukan Romawi Bizantium dan Pasukan Islam yang dipimpin oleh Khalid bin Walid, salah satu jenderal ulung dari pasukan Islam.
Setelah Khalifah ke-18 Abbasiyah, al-Muqtadir Billah, dipenggal kepalanya, maka dibai’atlah al-Qahir Billah sebagai Khalifah ke-19. Sayang, nasibnya pun berakhir tragis. Bagaimana kisahnya?
Kafir Quraisy Makkah tidak terima dengan kekalahan yang dideritanya dalam perang Badar melawan pasukan umat Islam. Sesaat setelah kejadian itu, Abu Sufyan, salah satu pemuka kafir Quraisy Makkah, memprovokasi dan mendesak orang-orang Quraisy untuk melancarkan balas dendam terhadap umat Islam.