Dalam beberapa sejarah tercatat bahwa, sejak pertama kali Islam datang ke Aceh, bahwa tidak terdapat lembaga pendidikan lain kecuali dayah. Lembaga ini telah menghasilkan beberapa sarjana terkenal dan pengarang yang produktif.
Dayah telah banyak mengabdi kepada rakyat Aceh terutama dalam hal menghasilkan pemimpin masyarakat dalam bidang ilmu pengetahuan agama. Orang-orang tersebut telah memainkan peran yang penting dalam membina komunitasnya dalam bidang keyakinan dan praktik agama.
Ketika Belanda ke Aceh, terdapat beberapa dayah yang telah berdiri di kawasan tersebut. Ketika perang meletus, dayah memainkan peranan penting dalam perlawanan rakyat Aceh. Sultan dan para uleebalang tidak sanggup menjalankan roda kepemimpinan, jadi para tentara ingin pemimpin lain untuk melanjutkan perlawanan dalam rangka mempertahankan tanah air mereka.
Dalam upaya menghindari pertumpahan darah lebih lanjut, Majlis Tahkim diadakan sebagai forum mediasi oleh tokoh-tokoh netral, dengan tujuan menemukan solusi adil untuk mengakhiri konflik dan memulihkan stabilitas politik serta persatuan umat Islam.
Pasca peristiwa Perang Jamal yang dipimpin oleh Ummul Mukminin, kondisi pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib mulai stabil. Sesuai dengan apa yang direncakan oleh Khalifah Ali, rencana selanjutnya adalah membuat perundingan dengan Muawiyah bin Abu Sufyan yang saat itu beserta rakyatnya belum mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.
Berita terbunuhnya Khalifah Utsman mulai tersebar ke berbagai penjuru semenanjung Arab. Tidak terkecuali Ummul Mukminin, Aisyah binti Abu Bakar r.ha. yang sedang berada di Kota Makkah setelah melaksanakan ibadah haji. Beliau mendapatkan berita kematian Khalifah Utsman tersebut dari Zubair dan Thalhah yang berangkat ke Tanah Haram 4 bulan setelah terbunuhnya Khalifah Utsman.
Ketika Khalifah Utsman meninggal dunia, kondisi Kota Madinah masih dipenuhi dengan para pemberontak. Dalam keadaan yang sangat kacau tersebut, tentu saja dibutuhkan seorang pemimpin yang mampu mengendalikan situasi. Pilihan yang paling utama saat itu adalah Ali Bin Abi Thalib.
Muncullah cerita baru tentang pasukan Diponegoro. Salah satu cerita yang kemudian melahirkan folklor tentang Pesarean Gunung Kawi yang di dalamnya dimakamkan Kyai Zakaria dan pengikutnya. Pesarean Gunung Kawi terkenal sebagai tempat untuk mencari penglarisan dengan memohon berkah kepada yang dimakamkan di tempat tersebut.
Babad Diponegoro memiliki pandangan tersendiri tentang hubungan antara Mataram dan kompeni atau VOC. Dalam Babad Diponegoro jilid 2 halaman 6 disebutkan bahwa serangan Mataram ke Jakarta atau Betawi dimenangkan oleh pasukan Mataram. Pasukan Mataram hanya meminta agar pasukan VOC atau Gubernur Jenderal memberikan upeti kepada pasukan Mataram.
Akhirnya pada 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro menyetujui suatu perjanjian di Magelang dan ditangkap dalam perjanjian tersebut. Dengan penangkapan Pangeran Diponegoro dengan cara licik ini, maka berakhirlah peperangan tersebut.