Mereka yang tidak mengambil pelajaran dari sejarah, maka ditakdirkan untuk mengulanginya, begitu kata George Santayana. Bukan tidak mungkin, faktor lingkungan jadi alasan yang paling dominan. Mengingat rumah kaca di era reformasi terlihat jauh lebih bening dan mentereng.
Apakah negara dan bangsa yang penduduknya mayoritas beragama pasti merupakan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, bersih dari korupsi, berkeadilan sosial dan bahagia?
Dalam sebuah "halaqah", pengajian/diskusi melingkar di Fahmina Institute, pada suatu hari, aku lupa tanggalnya, aku ditanya soal fungsi dan kewajiban negara dalam Islam.
Biasanya semarak menyambut Bulan Muharram semakin meriah dengan berbagai kegiatan seperti pawai obor, membuat bubur suro, puasa sunnah dan santunan yatim.
Kadang kita larut dalam kemarahan, karena kabar tersebut membuat hati kita teriris, sehingga secara spontan kita membagikan ke semua kontak dan grup yang ada di HP. Unfortunately, ternyata saat dicek, kabar itu palsu alias hoax.
Gus Dur sehati dan mengikuti jejak pikiran Imam Al-Ghazali. Sang Hujjatul Islam ini berbeda dengan ulama tekstualis konservatif radikal yang mengharamkan musik. Imam Al-Ghazali, sang sufi terbesar itu justru memberi apresiasi demikian tinggi terhadap musik.
Buya Syakur, begitu sapaan akrab jamaah kepadanya. Sesuai dengan cerita Gus Dur di atas, adalah seorang kyai yang mempunyai pemikiran keislaman yang sangat rasional.
Oleh karena itu, sudah seharusnya kita berpandangan adil dalam melihat kenyataan yang ada di Indonesia. Adil tersebut dalam pandangan Gus Baha adalah ketika pandangan nasionalisme tidak mengurangi keagamaan, begitupun sebaliknya, pandangan keagamaan tidak mengurangi nasionalisme.
Diam terkadang lebih efektif dalam menyelesaikan masalah, karena terlalu reaktif walaupun niatnya baik, malah akan menambah rumit sebuah persoalan, apalagi yang berseteru keduanya sama-sama orang yang kita hormati, bisa keluarga, guru atau atasan sendiri.
Anggada adalah salah satu tokoh wayang yang berwujud kera berbulu merah. Dia anak tunggal Resi Subali, raja kera dari Kerajaan Guwakiskenda, sedangkan ibunya seorang bidadari ‘bernama Dewi Tara. itulah sebabnya, ia juga disebut Subaliputra atau Subalisuta.