Hukum Memakai Dasi, Celana Panjang, Sepatu, Topi

 
Hukum Memakai Dasi, Celana Panjang, Sepatu, Topi

Memakai Dasi, Celana Panjang, Sepatu, Topi

Pertanyaan :

Bagaimana pendapat Muktamar tentang orang yang memakai celana panjang, dasi, sepatu, dan topi? Sedang orang itu orang Indonesia, haramkah demikian itu, karena dianggap meniru orang kafir?

Jawaban :

Apabila memakainya itu sengaja meniru orang kafir untuk turut menyemarakkan kekafirannya, maka hukum orang itu menjadi kafir (dengan pasti). Apabila sengaja (tujuan) orang tersebut turut menyemarakkan Hari Raya dengan tidak mengingat kekafirannya, maka hukumnya tidak kafir, tetapi berdosa. Apabila tidak sengaja meniru sama sekali, tetapi hanya sekedar berpakaian demikian, maka hukumnya tidak terlarang tetapi makruh.

Keterangan, dalam kitab:

  1. Bughyah al-Mustarsyidin[1]

(مَسْأَلَةُ ي) حَاصِلُ مَا ذَكَرَهُ الْعُلَمَاءُ فِي التَّزَيَّي بِزَيِّ الْكُفَّارِ أَنَّهُ إِمَّا أَنْ يَتَزَيَّ بِزَيِّهِمْ مَيْلاً إِلَى دِيْنِهِمْ وَقَاصِدًا التَّشَبُّهَ بِهِمْ فِيْ شِعَارِ الْكُفَّارِ أَوْ يَمْشِيَ مَعَهُمْ إِلَى مُتَعَبَّدَاتِهِمْ فَيَكْفُرُ بِذَلِكَ فِيْهِمَا. وَإِمَّا أَنْ لاَ يَقْصُدَ كَذَلِكَ بَلْ يَقْصُدُ التَّشَبُّهَ بِهِمْ فِيْ شِعَارِ الْعِيْدِ أَوِ التَّوَصُّلِ إِلَى مُعَامَلَةٍ جَائِزَةٍ مَعَهُمْ فَيَأْثَمُ وَإِمَّا أَنْ يَتَّفِقَ لَهُ مِنْ غَيْرِ قَصْدٍ فَيُكْرَهُ كَشَدِّ الرِّدَاءِ فِي الصَّلاَةِ.

Hasil kesimpulan dari pendapat yang disebutkan oleh para ulama tentang berbusana dengan busana orang-orang kafir adalah:

Pertama, jika dalam berbusana tersebut ada kecenderungan pada agama mereka (kafir) dan ingin serupa dengan mereka dalam syiar kekafiran, atau bisa berjalan bersama mereka ke tempat-tempat peribadatan mereka, maka ia menjadi kafir.

Kedua, jika tidak bermaksud yang demikian itu, namun hanya bermaksud ingin mirip saja dengan mereka dalam syiar hari raya atau bisa bermuamalah dengan mereka dalam muamalah yang diperbolehkan maka ia berdosa.

Ketiga, jika ia kebetulan saja tanpa tujuan apapun, maka hukumnya makruh, sama seperti mengikat selendang dalam shalat.

[1]    Abdurrahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1371 H/1952 M), h. 248.

 

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 33

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-2

Di Surabaya Pada Tanggal 12 Rabiuts Tsani 1346 H./9 Oktober 1927 M.