Hukum Memakai Pen dari Emas

 
Hukum Memakai Pen dari Emas

Memakai Pen dari Emas

Pertanyaan :

Bagaimana hukumnya memakai pen emas? Haram ataukah tidak?

Jawaban :

Hukum memakai pen emas adalah haram! Karena termasuk larangan memakai bejana dari emas, seperti tempat celak (mirwad), demikian ini menurut mazhab Syafi’i, tetapi dalam mazhab Hanafi, terdapat pendapat yang memperbolehkannya, oleh karenanya, para pemakai supaya mengikuti pendapat tersebut (mazhab Hanafi) supaya terhindar dari hukum haram.

Keterangan, dalam kitab:

  1. Fath al-Qarib dan Hasyiyahal-Bajuri[1]

(وَلاَ يَجُوْزُ) فِيْ غَيْرِ ضَرُوْرَةٍ لِرَجُلٍ وَامْرَأَةٍ (اِسْتِعْمَالُ) شَيْءٍ مِنْ (أَوَانِي الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ) وَعِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ قَوْلٌ بِجَوَازِ ظُرُوْفِ الْقَهْوَةِ. وَإِنْ كَانَ الْمُعْتَمَدُ عِنْدَهُمْ الْحُرْمَةَ. فَيَنْبَغِي لِمَنْ ابْتُلِيَ بِشَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ كَمَا يَقَعُ كَثِيْرًا تَقْلِيْدُ مَا تَقَدَّمَ لِيَتَخَلَّصَ مِنَ الْحُرْمَةِ. (قَوْلُهُ فِيْ غَيْرِ ضَرُوْرَةٍ)     فَإِنْ دَعَتْ إِلَى اِسْتِعْمَالِ ذَلِكَ كَمِرْوَدٍ بِكَسْرِ الْمِيْمِ مِنْ ذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ يُكْتَحَلُ بِهِ لِجَلاَءِ عَيْنِهِ  كَأَنْ أَخْبَرَهُ طَبِيْبٌ عَدْلُ رِوَايَةٍ بِأَنَّ عَيْنَهُ لاَ تَنْجَلِي جَازَ اِسْتِعْمَالُهُ.

Dan tidak diperbolehkan di luar keadaan darurat bagi laki-laki dan perempuan memakai bejana dari emas dan perak. Di kalangan mazhab Hanafi terdapat pendapat yang memperbolehkan penggunaan tempat kopi (yang terbuat dari emas dan perak), walaupun pendapat yang lebih banyak dijadikan pedoman (mutamad) di kalangan mereka adalah haram.

Maka bagi mereka yang diuji harus mempergunakan bejana dari emas dan perak tersebut sebagaimana yang banyak terjadi, maka sebaiknya ia harus mengikuti (pendapat mazhab Hanafi) agar terhindar dari haram. (Maksud tanpa dharurat), jika menggunakan bejana emas dan perak seperti mirwad itu suatu keharusan (dharurat) sebagai alat bercelak, agar mata menjadi terang menurut keterangan dokter yang ‘adl riwayah (adil dalam periwayatan), maka boleh menggunakannya.

[1]   Ibn Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib dan Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri, (Singapura: Sulaiman Mar’i, t. th.), Jilid I, h. 40.

 

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 34

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-2

Di Surabaya Pada Tanggal 12 Rabiuts Tsani 1346 H./9 Oktober 1927 M.