Hukum tentang Hakim Mengawinkan Anak Perempuan dengan Wali Hakim Tanpa Ada Bukti

 
Hukum tentang Hakim Mengawinkan Anak Perempuan dengan Wali Hakim Tanpa Ada Bukti

Hakim Mengawinkan Anak Perempuan dengan Wali Hakim Tanpa Ada Bukti

Pertanyaan :

Bolehkah seorang hakim mengawinkan dengan wali hakim atas seorang perempuan yang mengaku bahwa suaminya telah meninggal dunia empat tahun yang lalu di Solo, dalam soal ini ia tidak mengemukakan bukti-bukti atau saksi-saksi?

Jawab :

Menurut qaul yang kuat (mutamad) hakim tersebut tidak boleh mengawinkannya, sebelum ada saksi-saksi atas kebenaran pengaduannya atas kematian suaminya, sekalipun dalam persoalan ini terdapat beberapa ulama yang memperbolehkannya.

Keterangan, dalam kitab:

  1. Bughyah al-Mustarsyidin[1]

وَاعْتَمَدَ فِي التُّحْفَةِ عَدَمَ جَوَازِ اِقْدَامِ الْحَاكِمِ عَلَى تَزْوِيْجِ مَنْ طَلَّقَهَا زَوْجُهَا الْمُعَيَّنُ أَوْ مَاتَ بَعْدَ ثُبُوْتِهِ لَدَيْهِ وَاعْتَمَدَ فِي الْفَتَاوَى وَابْنُ زِيَادٍ وَأَبُو قُضَامٍ جَوَازَ ذَلِكَ إِذَا صَدَقَ الْمُخْبِرُ إِذِ الْعِبْرَةُ فِي الْعُقُوْدِ بِقَوْلِ أَرْبَابِهَا وَ لِأَنَّ تَصَرُّفَ الْحَاكِمِ لَيْسَ حُكْمًا، وَهُوَ الْقِيَاسُ

Dan Ibn Hajar dalam kitab Tuhfah berpedoman, hakim tidak punya otoritas untuk mengawinkan wanita yang telah diceraikan oleh suami  yang mu’ayyan (jelas orangnya) atau telah meninggal setelah terdapat ketetapan di depan hakim. Dan dalam kitab Fatawa beliau, (begitu pula) Ibn Ziyad dan Abu Qudham, berpedoman hakim boleh menikahkannya, bila pembawa berita jujur, karena yang menjadi tolok ukur dalam akad adalah ucapan pihak-pihak yang terkait, dan karena perlakuan hakim bukan merupakan suatu produk hukum. Begitulah qiyasnya.

  1. Tuhfah al-Muhtaj[2]

وَمَحَلُّ ذَلِكَ أَي إِجَابَةُ طَلَبِهَا فِي التَّزْوِيْجِ مَا لَمْ يَعْرِفْ تَزَوُّجُهَا بِمُعَيَّنٍ وَإِلاَّ اُشْتُرِطَ فِيْ تَزْوِيْجِ الْحَاكِمِ لَهَا دُوْنَ الْوَلِيِّ الْخَاصِ كَمَا أَفَادَهُ كَلاَمُ اْلأَنْوَارِ اِثْبَاتُهَا لِفِرَاقِهِ سَوَاءٌ غَابَ أَمْ حَضَرَ هَذَا مَا دَلَّ عَلَيْهِ كَلاَمُ الشَّيْخَيْنِ وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ مِنْ اضْطِرَابٍ طَوِيْلٍ فِيْهِ وَإِنْ كَانَ الْقِيَاسُ مَا قَالَهُ جَمْعٌ مِنْ قَبُوْلِ قَوْلِهَا فِى الْمُعَيَّنِ أَيْضًا حَتَّى عِنْدَ الْقَاضِى لِقَوْلِ اْلأَصْحَابِ أَنَّ الْعِبْرَةَ فِي الْعُقُوْدِ بِقَوْلِ أَرْبَابِهَا.

Masalah yang demikian itu, yakni pemenuhan tuntutan si wanita dalam perkawinan selama perkawinannya dengan suami tertentu tersebut tidak diketahui. Jika tidak, maka dalam perkawinannya oleh hakim tanpa wali khusus, sebagaimana pendapat dalam kitab al-Anwar, disyaratkan ada penetapan hukum wanita itu telah bercerai dengan suaminya, baik suaminya tidak ada di daerah istri tersebut ataupun ada. Hal ini sesuai dengan pendapat syaikhain dan merupakan pendapat yang bisa dijadikan pedoman hasil dari perdebatan yang panjang, walaupun menurut qiyas, sebagaimana yang dianut oleh segolongan ulama, adalah menerima ucapan wanita tersebut perihal suami yang mu’ayyan (jelas orangnya), sesuai pula dengan pendapat al-Qadhi, berdasarkan pendapat al-Ashhab, yaitu: “Tolok ukur suatu akad itu adalah ucapan pihak terkait.”

[1]   Abdurrahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1371 H/1952 M), h. 206.

[2]   Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj dalam Abdul Hamid al-Syirwani, Hasyiyah al-Syirwani, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), Jilid VII, h. 305.

 

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 39

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-3

Di Surabaya Pada Tanggal 12 Rabiuts Tsani 1347 H. / 28 September 1928 M.