Hukum Ceramah Keagamaan oleh Ustadzah di Tengah Jamaah Pria

 
Hukum Ceramah Keagamaan oleh Ustadzah di Tengah Jamaah Pria

Munculnya Perempuan untuk Pidato Keagamaan

Pertanyaan :

Bagaimana hukumnya orang perempuan berdiri di tengah-tengah lelaki lain untuk pidato keagamaan?, Boleh ataukah tidak?

Jawab :

Muktamar memutuskan bahwa berdiri orang perempuan di tengah-tengah lelaki lain, itu haram, kecuali kalau bisa sunyi dari larangan agama Islam, seperti dapat menutup auratnya dan selamat dari segala fitnah, maka hukumnya boleh (jaiz) karena suara orang perempuan itu tidak termasuk aurat, menurut pendapat yang ashshah.

Keterangan, dari kitab:

  1. Ittihaf al-Sadah al-Muttaqin [1]

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ r كَانَ يَقْرَعُ سَمْعَهُ صَوْتُ الْجَارِيَتَيْنِ وَهُوَ مُضْطَجِعٌ عَلَى الْفِرَاشِ وَلَوْ كَانَ يُضْرَبُ بِاْلأَوْتَارِ فِيْ مَوْضِعٍ لَمَّا جَوَّزَ الْجُلُوْسَ ثَمَّ لقْرِعِ صَوْتِ اْلأَوْتَارِ سَمْعَهُ. فَيَدُلُّ هَذَا عَلَى أَنَّ صَوْتَ النِّسَاءِ غَيْرَ مُحَرَّمٍ تَحْرِيْمَ الْمَزَامِيْرِ بَلْ إِنَّمَا يَحْرُمُ عِنْدَ خَوْفِ الْفِتْنَةِ قَطْعًا.

Sesungguhnya telinga Rasulullah Saw. pernah mendengar suara dua gadis (jariyah) pembantu wanita ketika beliau sedang tiduran di atas pembaringan. Seandainya andaikan dibunyikan gitar di suatu tempat, niscaya beliau beranjak dari duduk dari tempat itu karena suara gitar yang terdengar ditelinganya. Hal ini menunjukkan bahwa suara wanita tidak diharamkan seperti keharaman seruling. Namun suara wanita hanya haram ketika khawatir adanya fitnah secara pasti (tanpa khilafiyah).

  1. Syarah al-Sittin [2]

وَلاَ تَجْهَرُ الْمَرْأَةُ بِالْقِرَاءَةِ أَيْ دَفْعًا لِلْفِتْنَةِ وَإِنْ كَانَ اْلأَصَحُّ أَنَّ صَوْتَهَا لَيْسَ بِعَوْرَةٍ.

Wanita tidak boleh mengeraskan suara membaca al-Qur’an demi menghindari timbulnya fitnah, walaupun pendapat yang lebih benar menyatakan bahwa suara wanita itu bukan aurat.

  1. Al-Fawa al-Kubra al-Fiqhiyah [3]

وَالْمُرَادُ بِالْفِتْنَةِ الزِّنَا وَمُقَدَّمَاتِهِ.

Yang dimaksud fitnah tersebut adalah perzinaan dan muqaddimah-nya.

[1] Muhammad Murtadha al-Zabidi, Ithaf al-Sadah al-Muttaqin, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1422 H/2002 M), Jilid VI, h. 495.

[2] Abdul Karim al-Mathari al-Dimyathi, Syarah al-Sittin, (Singapura: al-Haramain, t. th.), h. 109.

[3] Ibn Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, (Beirut: Dar al-Fikr, 1493 H/1984 M), Jilid I, h. 203.

 

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 161

KEPUTUSAN ULAMA NAHDLATUL ULAMA KE-10

Di Surakarta Pada Tanggal 10 Muharram 1354 H./April 1935 M.