Saudara Kandung Hasil dari Berzina

 
Saudara Kandung Hasil dari Berzina

Anak Zina Ilhaq pada Suaminya

Pertanyaan :

Seorang istri mempunyai anak perempuan, kemudian suaminya meninggal, lalu berzina dengan seorang kafir, setelah dua tahun, mempunyai anak laki-laki, apakah si perempuan dan anak lelaki itu saudara sekandung atau tidak?.

Jawab :

Sesungguhnya si anak lelaki dan perempuan itu saudara kandung (seibu sebapak) karena si anak lelaki itu menjadi anaknya suami yang meninggal, sebab lahir sebelum lewat empat tahun dari meninggalnya suami. Sebagaimana putusan Muktamar ke 5 nomor 98, yang menerangkan dalilnya dengan lengkap:

Keterangan, dari kitab:

  1. Tuhfah al-Muhtaj [1]

(وَلَوْ بَانَهَا) أَيْ زَوْجَتَهُ بِخُلْعٍ أَوْ ثَلاَثٍ وَلَمْ يَنْفِ الْحَمْلَ (فَوَلَدَتْ لِأَرْبَعِ سِنِيْنَ) فَأَقَلَّ وَلَمْ تَتَزَوَّجْ بِغَيْرِهِ أَوْ تَزَوَّجَتْ بِغَيْرِهِ وَلَمْ يَكُنْ كَوْنُ الْوَلَدِ مِنَ الثَّانِي (لَحِقَهُ) وَبَانَ وُجُوْبُ سُكْنَاهَا وَنَفَقَتِهَا وَإِنْ أَقَرَّتْ بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ لِقِيَامِ اْلاِمْكَانِ إِذاَ كَثُرَ الْحَمْلُ أَرْبَعَ سِنِيْنَ بِاْلاِسْتِقْرَاءِ إِلَى أَنْ قَالَ: (وَلَوْ طَلَّقَهَا رَجْعِيًّا) فَأَتَتْ بِوَلَدٍ  لِأَرْبَعِ سِنِيْنَ لَحِقَهُ وَبَانَ وُجُوْبُ نَفَقَتِهَا وَسُكْنَاهَا أَي وَأَنَّ الْمَرْأَةَ مُعْتَدَّةٌ إِلَى الْوَضْعِ حَتَّى يَثْبُتَ لِلزَّوْجِ رَجْعَتُهَا.

Seandainya suami menceraikan istrinya secara khulu’ atau tiga kali, dan ia tidak mengingkari kehamilannya, lalu si istri melahirkan dalam rentang waktu empat tahun atau kurang, dan belum kawin dengan orang lain, atau sudah kawin dengan orang lain, namun tidak memungkinkan adanya anak tersebut dari suami yang kedua, maka anak tersebut harus diikutkan pada suami yang pertama dan ia berkewajiban memberikan perumahan dan nafkah, meskipun istri tersebut berikrar bahwa ‘iddahnya habis, sebab waktu kehamilan yang paling lama adalah empat tahun sesuai dengan penelitian ... Jika suami tersebut mentalaqnya dengan talaq raj’i dan lalu si istri melahirkan anak dalam rentang waktu empat tahun, maka anak tersebut harus diikutkan sebagai anaknya dan ia pun berkewajiban memberi papan dan pangan si istri. Dan sesungguhnya wanita tersebut ber’iddah sampai melahirkan sehingga ada ketetapan bagi suami untuk merujuknya lagi.

  1. Asna al-Mathalib [2]

(فَإِنْ طَلَّقَهَا) بَائِنًا أَوْ رَجْعِيًّا أَوْ فَسَخَ نِكَاحَهَا وَلَوْ بِلِعَانٍ (وَلَمْ يُنْفِ الْحَمْلَ فَوَلَدَتْ  لِأَرْبَعِ سِنِيْنَ فَأَقَلَّ مِنْ) وَقْتِ (إِمْكَانِ الْعُلُوْقِ قُبَيْلَ الطَّلاَقِ) أَوِ الْفَسْخِ (لَحِقَهُ) وَبَانَ أَنَّ الْعِدَّةَ لَمْ تَنْقَضِ إِنْ لَمْ تَنْكِحْ الْمَرْأَةُ اَخَرَ أَوْ نَكَحَتْ وَلَمْ يُمْكِنْ كَوْنُ الْوَلَدِ مِنَ الثَّانِي لِقِيَامِ اْلإِمْكَانِ سَوَاءٌ أَقَرَّتْ بِانْقِضَاءِ عِدَّتِهَا قَبْلَ وِلاَدَتِهَا أَمْ لاَ. لِأَنَّ النَّسَبَ حَقُّ الْوَلَدِ. فَلاَ يَنْقَطِعُ بِإِقْرَارِهَا.

Apabila suami menceraikan istrinya, baik secara ba’in atau raj’i atau pernikahan batal meskipun karena li’an, dan si suami tidak mengingkari kehamilan, kemudian si istri melahirkan dalam rentang waktu empat tahun atau kurang yang terhitung dari kemungkinan bersetubuh beberapa saat sebelum terjadinya perceraian ataupun pembatalan nikah, maka anak tersebut nasabnya diikutkan suaminya itu, dan ‘iddahnya menjadi jelas belum habis selama istri tersebut belum menikah dengan orang lain, atau sudah menikah lagi namun anak tersebut tidak mungkin berasal dari suami kedua, karena adanya kemungkinan anak tersebut dari suami pertama, baik si istri mengakui habisnya ‘iddah sebelum lahirnya anak itu atau tidak mengakuinya. Sebab, nasab merupakan hak anak dan tidak bisa putus oleh pengakuan ibu.

[1] Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj pada hamisy Abdul Hamid al-Syirwani, Hasyiyah al-Syirwani (Beirut: Dar ihya’ al-Turats al-Arabi, t. th.), Jilid VIII, h. 243.

[2] Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib, (Indonesia: Menara Kudus, t. th.), Jilid III, h. 393.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 201 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-12 Di Malang Pada Tanggal 12 Rabiul Tsani 1356 H. / 25 Maret 1937 M.