Mengawini Wanita yang dalam Masa Iddah Lama Tidak Menstruasi

 
Mengawini Wanita yang dalam Masa Iddah Lama Tidak Menstruasi

Iddah Seorang Gadis yang Sudah Lama Tidak Berhaid

Pertanyaan :

Bagaimana iddahnya seorang gadis yang sampai lama putus/tidak berhaid?.

Jawab :

Kalau putusnya haid itu karena illat/sakit yang diketahui, maka tidak boleh dikawin sehingga suci dari tiga haid, atau telah sampai umur putus haid lalu beriddah dengan beberapa bulan (4 bulan 10 hari). Dan kalau putusnya haid tidak karena illat/sakit yang diketahui hingga bisa iddah lagi, juga tidak boleh kawin hingga berhaid atau sampai umur putus darah kemudian menjalankan iddah quru’ (suci). Menurut qaul yang mu’tamad dari madzhab Syafi’i, juga menurut qaul qadim yaitu mazhab Maliki dan Ahmad bin Hanbal, dia supaya menunggu selama sembilan bulan untuk mengetahui kekosongan rahimnya.

Keterangan, dari kitab:

  1. Fath al-Mu’in [1]

(وَمَنْ اِنْقَطَعَ حَيْضُهَا) بَعْدَ أَنْ كَانَتْ تَحِيْضُ (بِلاَ عِلَّةٍ) تُعْرَفُ (لَمْ تَتَزَوَّجْ حَتَّى تَحِيْضَ أَوْ تَيْأَسَ) ثُمَّ تَعْتَدُّ بِاْلأَقْرَاءِ أَوِ اْلأَشْهُرِ. وَفِي الْقَدِيْمِ وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ وَأَحْمَدَ أَنَّهَا تَتَرَبَّصُ تِسْعَةَ أَشْهُرٍ ثُمَّ تَعْتَدُّ بِثَلاَثَةِ أَشْهُرٍ لِيُعْرَفَ فَرَاغُ الدَّمِّ[2] اِذْ هِيَ غَالِبُ مُدَّةِ الْحَمْلِ. وَانْتَصَرَ لَهُ الشَّافِعِيُّ بِأَنَّ عُمَرَ r قَضَى بِهِ بَيْنَ الْمُهَاجِرِيْنَ وَاْلأَنْصَارِ وَلَمْ يُنْكَرْ عَلَيْهِ. وَمِنْ ثَمَّ أَفْتَى بِهِ سُلْطَانُ الْعُلَمَاءِ عِزُّ الدِّيْنِ ابْنُ عَبْدِ السَّلاَمِ والْبَارِزِيُّ وَإِسْمَاعِيْلُ الْحَضْرَمِيُّ واخْتَارَهُ الْبُلْقِيْنِيُّ وَشَيْخُنَا ابْنُ الزِّيَادِ رَحِمَهُمُ اللهُ أَمَّا مَنْ انْقَطَعَ حَيْضُهَا بِعِلَّةٍ تُعْرَفُ كَرَضَاعٍ وَمَرَضٍ فَلاَ تَتَزَوَّجُ اتِّفَاقًا حَتَّى تَحِيْضَ أَوْ تَيْأَسَ وَإِنْ طَالَت الْمُدَّةُ. (قَوْلُهُ وَانْتَصَرَ لَهُ إِلَخ) أَيِ اسْتَدَلَّ الشَّافِعِي لِقَوْلِهِ الْقَدِيْمِ بِأَنَّ سَيِّدَنَا عُمَرَ قَضَى بِهِ وَمَعَ ذَلِكَ هُوَ ضَعِيْفٌ إِذِ الْمُعْتَمَدُ الْجَدِيْدُ .

Wanita yang berhenti haidnya setelah sebelumnya berhaid tanpa sebab yang diketahui, maka tidak boleh nikah sampai ia haid atau menopause, lalu dia beriddah dengan hitungan qur’ (suci dari haid) atau bulan. Dalam qaul qadim, yang juga mazhab Malik dan Ahmad, wanita itu harus menunggu sembilan bulan, lalu beriddah tiga bulan untuk mengetahui kosongnya rahim (dari janin), karena masa itu merupakan masa kehamilan pada umumnya.

Imam Syafi’i menguatkannya dengan penetapan Umar Ra. pada hukum tersebut di antara kalangan Muhajirin dan Anshar, serta tidak seorang pun yang mengingkarinya. Oleh sebab itu, Sulthan al-‘ulama Izzudin Ibn Abdissalam, al-Barizi, Isma’il al-Hadhrami berfatwa dengannya, dan pendapat itu dipilih al-Bulqini, dan guruku Ibn Ziyad -rahimahumullah-. Adapun wanita yang terhenti haidnya karena ‘illat yang diketahui, seperti menyusui dan penyakit, maka wanita tersebut tidak boleh nikah sampai haid lagi atau menopause dengan kesepakatan ulama, walaupun dalam waktu lama. (Ungkapan Syaikh Zainuddin al-Malibari: “Imam Syafi’i menguatkannya … “), maksudnya beliau mengambil dalil qaul qadim dengan penetapan Umar Ra. dengan hukum tersebut. Meskipun begitu, pendapat itu adalah pendapat lemah, karena yang dijadikan pedoman adalah qaul jadid.

  1. Talkhish al-Murad [3]

أَمَّا مَنْ انْقَطَعَ دَمُّهَا لِعِلَّةٍ تُعْرَفُ كَرَضَاعٍ وَمَرَضٍ وَخَوْفٍ وَضَيْقِ عَيْشٍ فَالْمَجْزُوْمُ بِهِ فِي الْمَذْهَبِ أَنَّ عِدَّتَهَا بِاْلأَقْرَاءِ وَإِنَّهَا تَصْبِرُ حَتَّى تَحِيْضَ أَوْ تَبْلُغَ سِنَّ اْلإِيَاسِ اِثْنَتَانِ وَسِتُّوْنَ سَنَةً فَتَعْتَدُّ حِيْنَئِذٍ بِاْلأَشْهُرِ .

Wanita yang terhenti darah haidnya karena ‘illat yang diketahui, seperti menyusui, sakit, ketakutan, atau derita hidup, maka hukum yang dimantapkan dalam madzhab (Syafi’i) adalah bahwa iddahnya menggunakan qur’ (suci dari haid). Dan ia harus bersabar (tidak menikah) sampai haid lagi atau mencapai usia menopause yaitu 62 tahun, lalu ia beriddah dengan hitungan bulan (3 bulan).

[1] Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in dan I’anah al-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), Jilid IV, h. 49 dan 50.

[2] Dalam kitab al-Tuhfah dengan redaksi فَرَاغُ الرَّحِمِ (kosongnya rahim), sehingga redaksi فَرَاغُ الدَّمِّ (kosongnya darah) disinyalir oleh Sayyid al-Bakri sebagai kesalahan penulisan. Lihat al-Bakri bin Muhammad Saththa al-Dimyathi, I’anah Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.) Juz IV, h. 42. (Pen.)

[3] Abdurrahman bin Muhammad Ba’ alawi, Ghayah Talkhis al-Murad min Fatawa Ibn Ziyad, (Mesir: Musthafa al-Halabi1952), h. 242.

 

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 291

KEPUTUSAN KONFERENSI BESAR PENGURUS BESAR SYURIAH NAHDLATUL ULAMA KE 1

Di Jakarta Pada Tanggal 21 - 25 Syawal 1379 H. / 18 - 22 April 1960 M.