Kedudukan Hukum Lembaga Zakat dengan Amil Zakat

 
Kedudukan Hukum Lembaga Zakat dengan Amil Zakat

Lembaga Zakat Hubungannya dengan Amil Zakat

Pertanyaan :

Bagaimana kedudukan hukum/status syar’i lembaga zakat yang dibentuk oleh pemerintah daerah dihubungkan dengan ketentuan-ketentuan fiqh tentang Amil?.

Jawab :

Hukumnya lembaga zakat yang dibentuk oleh pemerintah daerah adalah sah, karena pemerintah Indonesia mempunyai hak syar’i untuk membentuk Amil.

Keterangan, dari kitab:

  1. Mauhibah Dzi al-Fadhl [1]

وَالصِّنْفُ الْخَامِسُ الْعَامِلُوْنَ عَلَيْهَا وَمِنْهُمْ السَّاعِيُ الَّذِيْ يَبْعَثُهُ اْلإِمَامُ لِأَخْذِ الزَّكَوَاتِ، وَبَعْثُهُ وَاجِبٌ. وَالْعَامِلُوْنَ عَلَيْهَا أَيِ الزَّكَاةِ يَعْنِي مَنْ نَصَبَهُ اْلإِمَامُ فِيْ أَخْذِ الْعُمَّالَةِ مِنَ الزَّكَواتِ

Bagian kelima adalah para Amil, mereka antara lain adalah Sa’i yang diutus penguasa untuk menarik zakat. Dan pengangkatannya itu wajib. Amil zakat adalah orang yang diangkat imam untuk menjadi pegawai penarik zakat.

  1. Ihya’ ‘Ulum al-Din [2]

الْأَصْلُ الْعَاشِرُ أَنَّهُ لَوْ تَعَذَّرَ وُجُودُ الْوَرَعِ وَالْعِلْمِ فِيمَنْ يَتَصَدَّى لِلْإِمَامَةِ وَكَانَ فِي صَرْفِهِ إِثَارَةُ فِتْنَةٍ لَا تُطَاقُ حَكَمْنَا بِانْعِقَادِ إِمَامَتِهِ لِأَنَّا بَيْنَ أَنْ نُحَرِّكَ فِتْنَةً بِالاسْتِبْدَالِ فَمَا يَلْقَى الْمُسْلِمُونَ فِيهِ مِنَ الضَّرَرِ يَزِيدُ عَلَى مَا يَفُوتُهُمْ مِنْ نُقْصَانِ هذِهِ الشُّرُوطِ الَّتِي أُثْبِتَتْ لِمَزِيَّةِ الْمَصْلَحَةِ فَلَا يُهْدَمُ أَصْلُ الْمَصْلَحَةِ شَغْفًا بِمَزَايَاهَا كَالَّذِي يَبْنِي قَصْرًا وَيَهْدِمُ مِصْرًا وَبَيْنَ أَنْ نَحْكُمَ بِخُلُوِّ الْبِلَادِ عَنِ الْإِمَامِ وَبِفَسَادِ اْلأَقْضِيَةِ وَذلِكَ مُحَالٌ وَنَحْنُ نَقْضِي بِنُفُوذِ قَضَاءِ أَهْلِ الْبَغْيِ فِي بِلَادِهِمْ لِمَسِيسِ حَاجَتِهِمْ فَكَيْفَ لَا نَقْضِي بِصِحَّةِ الْإِمَامَةِ عِنْدَ الْحَاجَةِ وَالضَّرُورَةِ

Ajaran pokok kesepuluh -dari sepuluh pokok ajaran yang dibawa Nabi Saw.- adalah sungguh bila tidak ditemukan sifat wira’i dan sifat kealiman pada orang yang menguasai kepimpinanan Negara, sementara bila penurunannya akan menimbulkan fitnah yang tidak bisa dibendung, maka kita menghukumi sah kepemimpinannya. Sebab kita dalam berada di antara (dua opsi), (i) menyulut fitnah dengan (menurunkan dan) mencari penggantinya, maka bahaya yang dialami kaum muslimin lebih besar dari pada tidak terpenuhinya syarat kepemimpinan yang ditetapkan karena kemaslahatan yang sempurna. Oleh sebab itu, prinsip maslahat tidak boleh dirusak demi tercapainya kemaslahatan yang sempurna, seperti halnya orang yang membangun istana dan merusak kota. (ii) Kita hukumi negara tidak memiliki pemimpin dan rusaknya hukum, dan hal tersebut tentu mustahil, sementara kita mengakui keabsahan hukum para pemberontak di daerahnya karena sangat dibutuhkan warga sekitar, maka bagaimana kita tidak menghukumi keabsahan kepemimpinan negara dalam kondisi hajat dan darurat?. Kifayah al-Akhyar

 [3] قَالَ الْغَزَالِيّ وَاجْتِمَاعُ هِذِهِ الشُّرُوْطِ مُتَعَذِّرٌ فِيْ عَصْرِنَا لِخُلُوِّ الْعَصْرِ عَنِ الْمُجْتَهِدِ الْمُسْتَقِلِّ فَالْوَجْهُ تَنْفِيْذُ قَضَاءِ كُلِّ مَنْ وَلاَّهُ سُلْطَانٌ ذُو الشَّوْكَةِ وَإِنْ كَانَ جَاهِلاً أَوْ فَاسِقًا لِئَلاَّ تَعَطَّلَ مَصَالِحُ الْمُسْلِمِيْنَ. قَالَ اْلإِمَامُ الرَّافِعِيُّ وَهَذَا أَحْسَنُ

Al-Ghazali menyatakan, adanya syarat-syarat (menjadi penguasa yang benar) tersebut sangat sulit di masa kita sekarang ini, sebab tidak ada mujtahid yang mandiri. Karenanya, maka boleh melaksanakan semua keputusan dari siapapun yang memiliki kekuasaan yang efektif, meski bodoh atau fasik, agar kepentingan umat Islam tidak terbengkalai. Imam al-Rafi’i menyatakan, pendapat ini adalah pendapat yang baik. Referansi Lain

  1. Keputusan Muktamar NU ke-20, masalah no. 277.
  2. I’anah al-Thalibin, Juz II, h. 190.
  3. Minhaj al-Qawim, h. 115.

[1] Mahfud al-Termasi, Mauhibah Dzi al-Fadhl, (Mesir: Al-Amirah al-Syarafiyah, 1326 H), Jilid IV, h. 130.

[2]  Abu Hamid al-Ghazali, Ihya ’Ulum al-Din, (Mesir: Muassasah al-Halabi, 1968), Juz I, h. 157.

[3] Abu Bakar bin Muhammad al-Hishni, Kifayah al-Akhyar, (Surabaya: Maktabah Ahmad Nabhan, t. th.), Juz II, h. 210.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 335 KEPUTUSAN MUNAS ALIM ULAMA Di Kaliurang Yogyakarta Pada Tanggal 30 Syawal 1401 H. / 30 Agustus 1981 M.