Wasiat Mengenai Organ Tubuh Mayit

 
Wasiat Mengenai Organ Tubuh Mayit

Wasiat Mengenai Organ Tubuh Mayit

Pertanyaan :

Sahkah wasiat mengenai organ tubuh mayit untuk diberikan dan dicangkokkan kepada orang yang memerlukan mengingat di antara sahnya wasiat adalah wujud mutlaq al-milk ?.

Jawab :

Hukum wasiat tersebut tidak sah (batal), karena tidak memenuhi syarat-syarat wasiat yang antara mutlaq al-milki. Menurut syara’ organ mayit itu hak Allah bukan milik seseorang. Adapun pecangkokan organ tubuh manusia ada yang membolehkan dengan syarat:

  • Karena diperlukan, dengan ketentuan tertib pengamanan.
  • Tidak ditemukan selain organ tubuh manusia itu.

Masalah ini telah dibahas pada Munas Alim Ulama NU di Kaliurang pada tahun 1981, bisa dirujuk ke masalah Nomor 334.  

Keterangan, dari kitab:

1. Nihayah al-Zain Syarh Qurrah al-‘Ain[1]

وَشُرِطَ فِيْ الْمُوْصَى بِهِ كَوْنُهُ مُبَاحًا يَقْبَلُ النَّقْلَ مِنْ شَخْصٍ إِلَى آخَرَ فَتَصِحُّ بِحَمْلٍ مَوْجُوْدٍ إِنِ انْفَصَلَ حَيًّا أَوْ مَيِّتًا مَضْمُوْنًا بِأَنْ كَانَ وَلَدَ أَمَةٍ وَجُنِيَ عَلَيْهِ بِخِلاَفِ وَلَدِ الْبَهِيْمَةِ إِنِ انْفَصَلَ مَيِّتًا بِجِنَايَةٍ فَإِنَّ الْوَصِيَّةَ تَبْطُلُ وَمَا يُغْرِمُهُ الْجَانِيْ حِيْنَئِذٍ مِمَّا نَقَصَ مِنْ قِيْمَةِ أُمِّهِ يَكُوْنُ لِلْوَارِثِ

Dan barang yang diwasiatkan disyaratkan merupakan barang mubah yang bisa dipindahkan dari seseorang ke orang lain. Maka sah wasiat janin (hewan atau budak) bila lahir dalam keadaan hidup, atau janin yang lahir dalam keadaan mati dan menjadi tanggung jawab seseorang, yaitu anak budak perempuan yang dilukai. Berbeda dengan janin hewan ketika lahir dalam keadaan mati karena dilukai, sebab wasiat dengannya batal, dan tanggung jawab orang yang melukai dalam kasus ini yaitu berkurangnya harga induknya menjadi milik ahli waris (bukan orang yang diwasiati).  

2. Hasyiyah al-Rasyidi ‘ala Fath al-Jawad [2]

قَالَ الْحَلَبِيُّ وَيَبْقَى مَا لَوْ لَمْ يُوجَدْ صَالِحٌ غَيْرُهُ فَيَحْتَمِلُ جَوَازُ الْجَبْرِ بِعَظْمِ الْآدَمِيِّ الْمَيِّتِ كَمَا يَجُوزُ لِلْمُضْطَرِّ أَكْلُ الْمَيْتَةِ وَإِنْ لَمْ يَخْشَ إلَّا مُبِيحَ التَّيَمُّمِ فَقَطْ وَقَدْ يُفَرَّقُ بِبَقَاءِ الْعَظْمِ هُنَا فَالِامْتِهَانُ دَائِمٌ وَجَزَمَ الْمَدَابِغِيُّ عَلَى الْخَطِيبِ بِالْجَوَازِ وَنَصُّهُ فَإِنْ لَمْ يَصْلُحْ إِلَّا عَظْمُ الْأَدَمِيِّ قُدِمَ عَظْمُ نَحْوِ الْحَرْبِيِّ كَالْمُرْتَدِ ثُمَّ الذِّمِّيِّ ثُمَّ الْمُسْلِمِ.

Al-Halabi berkata: “Dan masih menyisakan kasus, andaikan tidak ditemukan tulang penambal yang layak selain tulang manusia. Maka mungkin saja boleh menambal pasien dengan tulang manusia yang telah mati. Seperti halnya diperbolehkan memakan bangkai bagi seseorang dalam kondisi darurat, meskipun dia hanya khawatir atas udzur yang memperbolehkan tayamum saja. Dan kasus (menambal dengan tulang manusia) tersebut terkadang dibedakan (dengan kasus memakan bangkai dalam kondisi darurat), sebab tulang yang digunakan menambal masih wujud, maka penghinaan terhadap mayit (yang diambil tulangnya) terus terjadi. Dan al-Madabighi dalam catatannya atas karya al-Khatib, mantap atas diperbolehkannya menambal dengan tulang mayit, redaksinya yaitu: “Bila tidak ada yang layak kecuali tulang manusia, maka tulang kafir harbi seperti orang murtad harus didahulukan, kemudian tulang kafir dzimmi, dan baru tulang mayit muslim.  

3. Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj [3]

(وَلَهُ)

أَيْ الْمُضْطَرِّ (أَكْلُ آدَمِيٍّ مَيِّتٍ) إذَا لَمْ يَجِدْ مَيْتَةً غَيْرَهُ كَمَا قَيَّدَاهُ فِي الشَّرْحِ وَالرَّوْضَةِ لِأَنَّ حُرْمَةَ الْحَيِّ أَعْظَمُ مِنْ حُرْمَةِ الْمَيِّتِ.

(Dan dipebolehkan baginya) maksudnya adalah orang dalam kondisi darurat, (memakan manusia yang telah mati), ketika ia tidak menemukan bangkai selainnya, sebagaimana telah dibatasi oleh al-Rafi’i dan al-Nawawi dalam kitab al-Syarh al-Kabir dan al-Raudhah. Sebab kehormatan orang hidup lebih besar -dari orang pada yang telah mati.  

4. Kanz al-Raghibin Syarh Minhaj al-Thalibin [4]

وَلَهُ أَي لِلْمُضْطَرِّ أَكْلُ أَدَمِيٍّ مَيِّتٍ لِأَنَّ حُرْمَةَ الْحَيِّ أَعْظَمُ مِنْ حُرْمَةِ الْمَيِّتِ

Baginya, yaitu orang dalam kondisi darurat, boleh memakan mayat manusia, karena kehormatan orang hidup lebih besar dari kehormatan orang mati.  

5. Al-Muhadzdzab [5]

وَإِنِ اضْطُرَّ وَوَجَدَ أَدَمِيًّا مَيِّتًا جَازَ أَكْلُهُ لِأَنَّ حُرْمَةَ الْحَيِّ آكِدٌ مِنْ حُرْمَةِ الْمَيِّتِ

Jika seseorang terpaksa dan (hanya) menemukan mayat manusia, maka ia boleh memakannya. Sebab, kehormatan orang hidup lebih kuat dari kehormatan orang mati.  

6. Kanz al-Raghibin Syarh Minhaj al-Thalibin [6]

(وَلَوْ وَصَلَ عَظْمَهُ)

 لِانْكِسَارِهِ وَاحْتِيَاجِهِ إلَى الْوَصْلِ (بِنَجَسٍ) مِنْ الْعَظْمِ (لِفَقْدِ الطَّاهِرِ) الصَّالِحِ لِلْوَصْلِ (فَمَعْذُورٌ) فِي ذَلِكَ

(Dan bila seseorang menyambung tulangnya) karena pecah dan butuh menyabungnya, (dengan najis) maksudnya tulang najis, (karena tidak menemukan tulang yang suci) yang layak dijadikan penyambung, (maka ia adalah orang yang berudzur) dalam hal tersebut.

 

7. Tuhfah al-Habib ‘ala Syarh al-Khatib [7]

وَاْلأَوْجَهُ كَمَا هُوَ ظَاهِرُ كَلاَمِهِمْ عَدَمُ النَّظَرِ إِلَى أَفْضَلِيَّةِ الْمَيِّتِ مَعَ اتِّحَادِهِمَا إِسْلاَمًا وَعِصْمَةً

Dan pendapat al-Aujah (yang lebih kuat) seperti makna lahir pernyataan para ulama, adalah tidak menilai keutamaan mayit, ketika sama-sama Islam dan terjaga (tidak boleh dibunuh).  

8. Ahkamul Fuqaha’ [8]

مَسْأَلَةٌ مَا قَوْلُكُمْ فِي افْتَاءِ مُفْتِى الدِّيَارِ الْمِصْرِيَّةِ بِجَوَازِ أَخْذِ حَدَاقَةِ الْمَيِّتِ لِوَصْلِهَا إِلَى عَيْنِ اْلأَعْمَى هَلْ هُوَ صَحِيْحٌ أَوْ لاَ قَرَّرَ الْمُؤْتَمَرُ بِأَنَّ ذَلِكَ اْلإِفْتَاءَ غَيْرُ صَحِيْحٍ، بَلْ يَحْرُمُ أَخْذُ حَدَاقَةِ الْمَيِّتِ وَلَوْ غَيْرَ مُحْتَرَمٍ كَمُرْتَدٍّ وَحَرْبِيٍّ. وَيَحْرُمُ وَصْلُهُ بِأَجْزَاءِ اْلأَدَمِيِّ  لِأَنَّ ضَرَرَ الْعَمَى لاَ يَزِيْدُ عَلَى مَفْسَدَةِ انْتِهَاكِ حُرُمَاتِ الْمَيِّتِ كَمَا فِيْ حَاشِيَةِ الرَّشِيْدِيّ عَلَى ابْنِ الْعِمَادِ صـ 26

Permasalahan, bagaimana pendapat Anda sekalian tentang fatwa oleh Mufti Mesir yang memperbolehkan cangkok bola mata mayat untuk dipasangkan ke mata orang buta. Apakah fatwa ini benar apa tidak? Muktamar menetapkan, bahwa fatwa itu tidak benar, dan bahkan haram mencangkok bola mata mayat meskipun dari orang yang tidak terhormat, seperti orang murtad dan orang kafir musuh. Haram pencangkokan dengan bagian-bagian tubuh manusia, karena bahaya kebutaan tidak melebihi kerusakan pencemaran kehormatan mayat.  

[1]  Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi, Nihayah al-Zain Syarh Qurrah al-‘Ain, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 279.

[2]  Husain al-Rasyidi, Hasyiyah al-Rasyidi ‘ala Fath al-Jawad, (Indonesia: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, t. th.), h. 26-27.

[3] Muhammad al-Khatib al-Syirbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1957), Juz IV, h. 307.

[4] Jalaluddin al-Mahalli, Kanz al-Raghibin Syarh Minhaj al-Thalibin pada Hasyiyata Qulyubi wa ‘Umairah, (Indonesia: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, t. th.), Juz I, h. 128.

[5] Abu Ishaq al-Syairazi, al-Muhadzdzab, (Beirut: …, t. th.), Juz I, h. 251.

[6] Jalaluddin al-Mahalli, Kanz al-Raghibin Syarh Minhaj al-Thalibin pada Hasyiyata Qulyubi wa ‘Umairah, (Indonesia: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, t. th.), Juz IV, h. 128.

[7] Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami, Tuhfah al-Habib ‘ala Syarh al-Khatib, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), Juz I, h. 323.

[8] Ahkamul Fuqaha, Keputusan Muktamar NU ke-23 tahun 1962 di Solo (masalah nomor 315).

Sumber : Ahkamul Fuqaha no. 383 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-28 Di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta Pada Tanggal 26 - 29 Rabiul Akhir 1410 H. / 25 - 28 Nopember 1989 M.