Tindakan Medis Terhadap Pasien yang Sulit Diharapkan Hidupnya

 
Tindakan Medis Terhadap Pasien yang Sulit Diharapkan Hidupnya

Tindakan Medis Terhadap Pasien yang Sulit Diharapkan Hidupnya

Pertanyaan :

Tindakan medis terhadap pasien yang dinilai sudah sulit diharapkan hidup, dengan tujuan atau berakibat meninggalnya pasien secara perlahan-lahan. Bagaimana hukumnya ?.

Jawab :

Tindakan medis demikian ini hukumnya haram.  

Keterangan, dari kitab:

1. Bughyah al-Musytarsyidin [1]

(مَسْأَلَةُ ش)

طُعِنَ رَجُلٌ وَأُخْرِجَتْ شَبَكَةُ بَطْنِهِ فَبَقِيَ يَوْمًا وَلَيْلَةً فَجِيءَ لَهُ بِطَبِيبٍ يُعَالِجُهُ فَقَالَ لَا يُمْكِنُ إِدْخَالُ الشَّبَكَةِ لِكَوْنِهَا يَبِسَتْ فَقَطَعَهَا فَمَاتَ بَعْدَ أَيَّامٍ فَإِنْ تَعَمَّدَ مَعَ عِلْمِهِ بِأَنَّ الْقَطْعَ يَقْتُلُ غَالِبًا وَمَاتَ بِالْفِعْلَيْنِ أَوْ قَطَعَهَا بِلَا إِذْنٍ مِنَ الْمَجْرُوحِ الْكَامِلِ وَوَلِيِّ النَّاقِصِ فَعَلَى كُلٍّ مِنَ الطَّاعِنِ وَلَوْ سَكْرَانَ تَغْلِيظًا عَلَيْهِ إِذْ هُوَ فِي حُكْمِ الْمُكَلَّفِ وَالطَّبِيبِ كَانَ مَاهِرًا بِأَنْ لَا يُخْطِىءَ إِلَّا نَادِرًا أَوْلَا الْقِصَاصُ بِشَرْطِهِ وَلَا عِبْرَةَ بِإِذْنِ الْوَارِثِ

(Kasus dari Muhammad bin Abu Bakar al-Asykhar al-Yamani) Seseorang ditikam, dan isi perutnya dikeluarkan, lalu dibiarkan sehari semalam. Kemudian didatangkan dokter untuk mengobatinya. Ia berkata: “Isi perutnya tidak bisa mungkin dimasukkan (ke perut lagi) karena sudah kering.” Lalu ia memotongnya. Setelah beberapa hari si korban tersebut meninggal. Maka bila ia sengaja memotongnya dan tahu bahwa tindakannya itu secara umum bisa membunuh, dan si korban tersebut mati karena dua tindakan (tikaman dan pemotongan isi perut), atau ia memotongnya tanpa izin dari si korban yang  kamil (diperhitungkan dalam hukum), dan wali korban yang naqish (tidak diperhitungkan dalam hukum), maka bagi masing-masing penikam meski dalam keadaan mabuk karena memberatkan hukum baginya, sebab ia dihukumi mukallaf, dan bagi si dokter pandai yang jarang melakukan malpraktik maupun tidak, hukuman qishash dengan syaratnya. Dan izin ahli waris tidak dipertimbangkan (dalam kasus ini).  

2. Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib [2]

وَالْأَصْلُ فِيهَا قَبْلَ الْإِجْمَاعِ قَوْلُهُ تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى وَأَخْبَارٌ كَخَبَرِ الصَّحِيحَيْنِ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ

. قِيلَ وَمَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ الشِّرْكُ بِاللهِ تَعَالَى وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إلَّا بِالْحَقِّ -

Dan dalil dalam masalah jinayah (kriminal) sebelum ijma’ adalah firman Allah: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” dan hadits shahih Bukhari dan Muslim: “Jauhilah tujuh perkara yang membuat binasa.” Lalu ditanyakan: “Apakah tujuh perkara itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Menyekutukan Allah Ta’ala, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan hak.  

Referensi Lain : a. Fath al-Wahhab, Juz II, h. 128. b. I’anah al-Thalibin, juz IV, hlm. 110 - 119. c. Al-Mahalli, Juz IV, h. 96 dan 102. d. Kifayah al-Akhyar, Juz II, h. 201. e. Tuhfah al-Muhtaj, Juz III, h. 205. f. Tarsyih al-Mustafidin, h. 367.  

[1] Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi, Bughyah al-Musytarsyidin, (Mesir: Musthafa al-Haalabi, t. th.), h. 245.

[2] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, (Beirut: Dar al-fikr, t. th.), Jilid II, h. 199-200.

Sumber : Ahkamul Fuqaha no. 384 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-28 Di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta Pada Tanggal 26 - 29 Rabiul Akhir 1410 H. / 25 - 28 Nopember 1989 M.