Hak Asuh Anak

  1. Hadis:

    أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي

    Artinya:
    Engkau lebih berhak menguasai anak itu selama engkau belum me­nikah (lagi).

    Asbabul Wurud:
    Sebagaimana dalam al-Jami'ul Kabir, yang Diriwayatkan Dari Amru bin Syu'iab Dari ayahnya Dari kakeknya Abdullah ibnu Amru, katanya: "Seorang perempuan berkata kepada Rasulullah SAW: "Sesungguhnya anakku ini, perutku untuknya, piring dan susuku ini untuknya, air minum dan kamarku ini untuknya. Ayahnya telah menceraikan aku, dan ber­maksud hendak merampas anak ini Dari tanganku."Maka Rasulullah SAW bersabda: "Engkau lebih berhak …” dan seterusnya.

    Periwayat:
    al-Baghawi Dari Abdullah ibnu Amru.


    Anak ditetapkan menjadi milik ibu, bukan bapak, jika Dia masih kecil yang belum bisa membedakan mana yang baik dan buruk (mumayiz). dalam pendapat Dari Ibnu Abbas terdapat bunyi lafadh."Riihuhaawa firaasyuhawa murraha khaitun lahu minka hattaa yasyubba wa yakhtaaru linafsihi, faidzaa mayyaza khayyara bainal abawaini fay- akuunu 'inda manikhtaa minhumaa 'An abii hurairata radhiyallahu 'anhu anna Rasulullah SAW khayyara hulaaman baina abiihi wa ummihi (Bau badan ibunya, tempat tidurnya dan pahit (kemarahannya) lebih baik bagi anak itu Daripada engkau (ayah) sampai Dia remaja dan bebas memilih untuk dirinya sendiri. Maka apabila Dia telah mumayiz, bolehlah Dia memilih salah seorang antara ayah dan ibunya, sehingga ia berada di bawah pengawasan siapa yang Dia pilih di antara ayah dan ibunya. Menurut riwayat Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW memberi kesempatan memilih bagi seorang anak antara ayahnya atau ibunya). Hadis ini Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Turmudzi. Turmudzi menetapkan Hadis ini Hassan.

    Apabila ibu menikahkan lagi, gugurlah hak memelihara anak (hadhanah) itu bagi dirinya, kalau ayah menuntut anak itu. Jika tidak ada tuntutan, maka tetaplah anak itu di bawah asuhan ibunya (meskipun ia telah menikahkan lagi). Contohnya Anas bin Malik tetap Dia suh ibunya, padahal ibunya menikahkan lagi. Demikian pula putera Ummu Salamah, yang dimenikahkani Rasulullah SAW setelah suaminya wafat (dalam hijrah ke Abbesinia), dan anaknya tetap di bawah asuhan Ummu Salamah.

    Ahmad bin Hanbal berpendapat, kalau anak perempuan tak ada ke­bebasan memilih (takhyiir). Imam Syafi'i menyamakan kedudukan anak laki-laki dengan anak perempuan dalam menentukan pilihannya, (lihat Irsyadul mustarsyidiin hal. 418: Subukas Salam, Hadis no. 226 hal. 3 bab Hadhanah).