Penjelasan tentang Perselisihan Gadis dengan Walinya dalam Menunjuk Calon Suaminya

 
Penjelasan tentang Perselisihan Gadis dengan Walinya dalam Menunjuk Calon Suaminya

Perselisihan Seorang Gadis dengan Wali Mujbirnya dalam Menunjuk Pemuda yang Mengawininya

Pertanyaan :

Bagaimana pendapat Muktamar tentang seorang gadis yang berselisih dengan wali mujbirnya dalam soal perkawinannya. Ia menunjuk seorang pemuda yang kufu (sepadan), sedangkan walinya menunjuk pemuda lain yang kufu pula, kemudian gadis tersebut kawin dengan pemuda yang dipilihnya dengan wali hakim.

Apakah perselisihan tersebut merupakan permusuhan yang nyata. Hingga wali mujbir tidak boleh mengawinkan tanpa izinnya dan penolakan wali dianggap sebagai ‘udhl (enggan menikahkan) sehingga dapat kawin dengan wali hakim?

Jawab : Perselisihan tersebut tidak boleh dianggap sebagai permusuhan, baik lahir maupun batin dan tidak boleh dikawinkan dengan wali hakim.

Keterangan, dari kitab:

  1. Fath al-Mu’in dan Ianah al-Thalibin[1]

لاَ يُزَوِّجُ الْقَاضِيْ إِنْ عَضَلَ مُجْبِرٌ مِنْ تَزْوِيْجِهَا بِكُفْءٍ عَيَّنَتْهُ وَقَدْ عَيَّنَ هُوَ كُفْأً آخَرَ غَيْرَ مُعَيَّنِهَا. وَإِنْ كَانَ مُعَيَّنُهُ دُوْنَ مُعَيَّنِهَا كَفَاءَةً (قَوْلُهُ لَا يُزَوِّجُ إِلَخ )  يَعْنِيْ لَوْ عَيَّنَتْ لِلْوَلِيِّ الْمُجْبِرِ كَفَاءً وَهُوَ عَيَّنَ لَهَا كَفَاءً آخَرَ غَيْرَ كُفْئِهَا لاَ يَكُوْنُ عَاضِلاً بِذَلِكَ فَلاَ يُزَوِّجُهَا الْقَاضِي بَلْ تَبْقَى الْوِلاَيَةُ لَهُ. وَذَلِكَ  لِأَنَّ نَظَرَهُ أَعْلَى مِنْ نَظَرَهَا. فَقَدْ يَكُوْنُ مُعَيَّنُهُ أَصْلَحَ مِنْ مُعَيَّنِهَا.

Seorang hakim tidak boleh mengawinkan jika wali mujbir (ayah) tidak setuju mengawinkan putrinya dengan laki-laki yang sepadan hasil pilihannya sendiri, sedangkan si ayah sudah memiliki lelaki lain yang juga kufu (sepadan). Walaupun laki-laki pilihan ayah kesepadanannya lebih rendah dibandingkan pilihan putrinya. (Ungkapan Syaikh Zainuddin al-Malibari: “Tidak boleh mengawinkan …”), yakni bila si putri menentukan laki-laki yang sepadan kepada ayahnya, sedangkan si ayah telah menentukan laki-laki lain untuk putrinya itu yang juga sepadan, maka si ayah tidak adhl (enggan menikahkan), sehingga hakim tidak boleh mengawinkannya, karena hak perwaliannya tetap berada di pihak ayah, yang demikian itu, karena penilaian ayah di atas penilaian putrinya, sehingga pilihannya lebih layak dari pada pilihan putrinya.

  1. Fath al-Mu’in[2]

وَتُرَدُّ الشَّهَادَةُ مِنْ عَدُوٍّ عَلَى عَدُوِّهِ عَدَاوَةً دُنْيَوِيَّةً لاَ لَهُ وَهُوَ مَنْ يَحْزَنُ بِفَرَحِهِ وَعَكْسُهُ أَي مَنْ يَفْرَحُ بِحُزْنِهِ

Kesaksian yang merugikan seorang musuh itu ditolak bila berasal dari musuhnya, dengan permusuhan yang bersifat duniawi, bukan kesaksian yang menguntungkannya. Musuh seseorang adalah orang yang susah atas kebahagiaannya dan sebaliknya, yaitu orang yang senang atas kesusahannya.

  1. Pendapat Muktamar

وَإِنَّمَا امْتِنَاعُ الْوَلِيِّ عَنْ تَزْوِيْجِهَا بِمُعَيَّنِهَا لَيْسَ إِلاَّ لِرِعَايَةِ مَصْلَحَتِهَا عِنْدَهُ لاَ لِعَدَاوَتِهِ لَهَا.

Keengganan wali (ayah) menikahkan putrinya dengan lelaki pilihannya sendiri itu semata-mata hanya karena dalam pertimbangannya untuk menjaga kemaslahatan putrinya itu, bukan karena memusuhinya.

[1]   Zainuddin al-Malibari dan al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyathi, Fath al-Mu’in dan I’anah al-Thalibin, (Semarang: Thaha Putra, t .th). Jilid III, h. 317.

[2] Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in pada I’anah al-Thalibin, (Semarang: Thaha Putra, t .th). Jilid IV, h. 289.

 

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 107

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-5

Di Pekalongan Pada Tanggal 13 Rabiuts Tsani 1349 H. / 7 September 1930 M.