Serial Wayang Kebatinan Islam #3: Wayang Kulit pada Masa Hindhu-Budha

 
Serial Wayang Kebatinan Islam #3: Wayang Kulit pada Masa Hindhu-Budha

Serial Wayang Kebatinan Islam

Wayang Kulit dari Masa ke Masa (Bagian 2. Wayang Kulit Masa Hindu-Budha)

 

Dengan masuknya agama Hindu-Budha ke Nusantara, maa berakhirlah masa prasejarah, dan masuklah masa sejarah di Indonesia. Pada masa sejarah inilah masyarakat di Indonesia sudah mengenal tulisa, sehingga dari tulisan-tulisan yang mereka tinggalkan dapat diketahui bahwa dengan masuknya agama Hindu membawa pengaruh terhadap kebudayaan dan kesenian yang sudah ada. Tulisan yang digunakan biasanya dengan huruf Pallawa yang berasal dari India Selatan dan dalam bahasa Sansekerta bahasa resmi India dan berbentuk syair. Jadi dapat dikatakan bahwa dengan masuknya agama Hindhu, budaya dan seni wayang kulit juga terpengaruh oleh nilai-nilai agama Hindhu.

Pengaruh agama Hindhu terhadap wayang kulit adalah mentransformasikan ajaran agama Hindhu ke dalam wayang yang masih sakral itu. Sehingga wayang yang oleh nenek moyang dahulu untuk upacara memanggil dan meminta bantuan pada roh-roh nenek moyang diganti dengan bahasa simbol kekuatan dewa-dewa dalam agama Hindhu, yaitu Trimurti yang terdiri dari dewa Brahma, Wisnu, dan Shiwa.

Pada masa ini pengaruh agama Hindhu terhadap wayang yang termasyhur adalah adanya pengaruh epos Ramayana dan Mahabharata terhadap wayang di Indonesia. Dalam bentuk aslinya Ramayana adalah cerita dalam bahasa Sansekerta, bersajak atau epos Hindhu kuno, terdiri dari 24.000 sajak, karangan Walmiki. Dari epos inilah tokoh Rama dan Rahwana saling bertarung untuk memperebutkan Sinta. Adapun Mahabharata adalah cerit adalam bahasa Sansekerta bersajak atau epos kuno yang terdiri dari 90.000 sajak, karangan Wiyasa. Lewat epos inilah cerita perang antara Kurawa melawan Pandhawa dikenal.

Kisah Mahabharata terdiri dari beberapa bagian cerita atau parwa, yaitu:

  1. Adi Parwa: Asal-usul dan masa kanak-kanak para Pandhawa dan Kurawa.
  2. Sabha Parwa: Berisi cara-cara Kurawa mengalahkan dan membinasakan Pandhawa, yaitu dengan bermain dadu.
  3. Wana Parwa: Pengalaman Pandhawa setelah 12 tahun dalam hutan
  4. Wirata Parwa: Pada tahun ke-13, para Pandhawa kembali ke Indraprasta sampai dimulainya perang saudara
  5. Udyasa Parwa: Pada tahun ke-14 para Pandhawa kembali ke Indraprasta sampai mulainya perang saudara
  6. Bhisma Parwa: Bhisma menjadi panglima perang para Kurawa sampai gugurnya. Pada bagian ini terdapat wejangan-wejangan Kresna kepada Arjuna yang ragu-ragu dalam berperang menghadapi saudaranya tersebut. Wejangan inilah yang disebut Bhagawatgita (nyanyian Tuhan)
  7. Drona Parwa: Drona menjadi panglima para Kurawa sampai ia gugur di medan perang. Dalam bagian juga gugur di pihak Pandhawa yaitu Abimanyu, Raja Drupada, dan Gatotkaca.
  8. Karna Parwa: Gugurnya Adipati Karna oleh Arjuna dan Dursasana oleh Bhima
  9. Satwa Parwa: Gugurnya Prabu Salya hari ke-18 dan Duryudhana
  10. Sauptika Purwa: Balas dendam Aswathama terhadap bala tentara Pancala sampai ia menyesal dan mengundurkan diri menjadi pertapa
  11. Stri Parwa: Penyesalan terhadap semua pihak yang terlibat dalam perang dan upacara penghormatan mereka yang gugur
  12. Santi Parwa: Penyesalan para Pandhawa terhadap perang dan penyucian diri mereka di hutan
  13. Anusasana Parwa: Isinya wejangan-wejangan mengenai kebatinan dan kewajiban raja, ditujukan kepada Yudhistira
  14. Aswamedhika Parwa: Berisi selamatan asmawedha
  15. Asramawasika Parwa: Dhastarata beserta istrinya dan Kunthi menjadi pertapa di hutan sampai mereka meninggal
  16. Mausala Parwa: Berisikan perang keluarga Yadhana beserta matinya Baladewa dan Kreshna
  17. Mahaprasthanika Parwa: Meninggalnya para Pandhawa dan beralihnya kekuasaan atas Indraprasta ke Parikesit
  18. Swargarohana Parwa: Peristiwa masuknya Pandhawa ke surga dan masuknya Kurawa ke neraka.

Dari 18 parwa di atas itulah asal dari kitab Mahabharata yang dijadikan sumber cerita dalam wayang kulit di Indonesia.

Dengan semakin kuat dan kokohnya pengaruh agama Hindhu di Indonesia waktu itu, maka munculah kerajaan-kerajaan dengan latar agama Hindhu yang berperan dalam pengembangan wayang kulit. Kerajaan-kerajaan itu antara lain kerajaan Kediri dan Majapahit.

Seperti telah kita ketahui, kejayaan seni Jawa kuno berlangsung pada zaman kerajaan Kediri, yaitu kerajaan Mataram Hindhu di Jawa Tengah. Pada masa pemerintahan Airlanggan (1019-1042M) Mepu Kanwa mempersembahkan Kakawin Arjuna Wiwaha kepada raja tersebut. Kitab ini berisikan pengibaratan kehidupan Raja Airlangga seperti perjalanan hidup Raden Arjuna ketik amengalahkan raksasa Niwatakacawa. Hal ini merupakan indikasi bahwa pada masa ini pertunjukan wayang sudah digemari oleh rakyat pada zaman pemerintah Raja Airlangga.

Pada masa Prabu Jayabaya (lebih kurang 1137-1157M), wayang kulit mendapat perhatian dari penguasa. Sang Prabu punya hasrat mulai membuat wayang purwa, sebab sang Prabu berminat dan senang pada cerita dan riwayat pada nenek moyangnya. Sebagai gambarnya adlaah relief candi Penataran di Blitar dan Prambanan. Kedua candi tersebut berisi ukiran-ukiran cerita Ramayana. Serat Ramayana di India menjadi kitab suci agama Wisnu, padahal menurut cerita Jawa, Prabu Jayabaya adalah penjelmaan Betara Wisnu.

Mula-mula yang digambar arca Betara Guru, kemudian dewa-dewa di atas daun tal. Karena daun tal terlalu kecil, maka dignati dengan kulit lembu yang sudah diolah dan dikeringkan. Gambar-gambar ditatah di atas kulit, kemudia diberi pegangan dengan bambu, setelah genap 50 tahun, diberi nama wayang purwa. Disebut wayang purwa karena cerita wayang diambil dari serat Pustaka Raja Purwaka karya sang Prabu sendiri, sedang  sumber gambar adalah area candi Penataran di Jawa Timur. Purwa juga berarti arah timur. Jadi sesuai nama wayang ciptaan sang Prabu Jayabaya adalah Wayang Purwa.

Cara pementasan wayang masa Raja Jayabaya adalah dengan memegang dan menempelkan wayang pada kelir sehingga tampak bayangan yang bergerak seperti manusia. Wayang zaman dulu belum dapat di-sabet-kan, sebab tanganny amasih menjadi satu dengan badan. Jadi hanya ditancapkan berhadapan.

Setelah kerajaan Kediri dan Jenggala surut, maka Majapahit adalah kerajaan terbesar masa Hindhu-Budha ini (1293-1478M). Pada masa ini wayang kulit mengalamai perkembangan antara lain dalam asesorisnya. Gambar wayang tersebut diwarnai, dandanannya disesuaikan dengan wujud satria, punggawa, ratu, dan sebagainya. Untuk mengiri pertunjukan wayang purwa dari kulit sudah diiringi gamelan slendro.

Pertunjukan di luar keraton hanya diiringi rebab. Pertunjukan di luar keraton untuk murwakala dengan tujuan penyelamatan golongan sukerta.

Di samping itu pada masa Majaphit ini dikarang pula cerita-cerita lain yang mengandung nasihat-nasihat dan tuntunan hidup. Adapun cerita-cerita itu adalah sebagai berikut:

  1. Arjuna Wiwaha: Mengisahkan perang antara Prabu Dasamuka melawan Waisrawa atau Dhanaraja dan antara Arjuna Sasrabahu dengan Rahwana. Ditulis Empu Tan Tular (1350-1389M) yang berbentuk tembang bahaa Jawa Kuna.
  2. Dewa Ruci: Meriwayatkan Bima Amarta dalam laut.
  3. Partanyadnya: Mengisahkan Pandhawa kalah main dadu melawan Kurawa. Kitab ini ditulis oleh Empu Widyadmaka.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa masa Hindhu-Budha ini, wayang kulit mengalami perubahan dan perkembangan dalam beberapa aspek. Perkembangan yang terjadi karena adanya pertemuan antara nilai-nilai yang sudah dianut oleh nenek moyang bangsa Indonesia dengan nilai-nilai yang berasal dari India, antara lain meliputi:

  1. Adanya pengalihan tujuan pementasan wayang kulit dari pemuajaan roh-roh nenek moyang ke arah penggambaran kekuatan dewa-dewa dari India, atau sekadar menceritakan perjalanan tokoh wayang kulit
  2. Dijadikannya epos Mahabharata dan Ramayana sebagia salah satu referensi wayang kulit masa itu
  3. Dikarangnya kitab tentang hubungan wayang kulit dengan silsilah raja-raja Jawa Hindhu oleh Prabu Jayabaya di Kediri, yaitu Pustaka Raja Purwa
  4. Sudah adanya pengarang pementasan wayang kulit dalam bentuk sederhana yaitu gamelan slendro