Asbabun Nuzul Surat An-Nisa' Ayat 19 - Imam as Suyuthi : Tidak Boleh Mengambil Nafkah Yang Telah Diberikan Kepada Si Istri

  1. “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan yang keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) kerena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
    Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Abu Dawud, dan An-Nasa’i dari Ibnu Abbas berkata, “Bahwa dahulu jika seorang laki-laki meninggal, maka wali-wali laki-laki tersebut lebih berhak atas istrinya, jika sebagian (salah satu) dari mereka ada yang menghendakinya, maka ia akan menikahi wanita tersebut atau jika mereka menghendaki, maka mereka akan menikahkanya dengan laki-laki yang lain. Para wali-wali tersebut lebih berhak daripada keluarga wanita tersebut, maka turunlah ayat ini." (1) Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dengan sanad yang hasan, dari Abi Umamah bin Sahal bin Hanif berkata, “Ketika Abu Qais bin Aslat meninggal, maka anak laki-laki Abu Qais ingin menikahi istri ayahnya, dan hal ini boleh pada zaman jahiliyah, maka turunlah firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa,” dan riwayat ini mempunyai penguat dari Ikrimah dari Ibnu Jarir. (2) Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, Al-Firyabi, dan Ath-Thabarani dari Adi bin Tsabit dari seorang laki-laki dari kaum Anshar berkata, “Ketika Abu Qais bin Aslat meninggal, dan ia termasuk salah satu orang shalih dari kaum Anshar, lalu anaknya melamarnya istri ayahnya, kemudian wanita tersebut berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku menganggapmu sebaigai anak, dan kamu adalah salah seorang yang shalih di kaummu”, lalu wanita tersebut mendatangi Nabi untuk menceritakan hal ini, kemudian Nabi bersabda: “pulanglah ke rumahmu”, kemudian turunlah firman Allah, “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang lampau” (3) ” . Dan hadits ini mempunyai penguat dari Ikrimah dari Ibnu Jarir.
    Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dari Muhammad bin Ka’ab bin Al- Qurazhi berkata, “Bahwa dahulu jika seseorang meninggal, maka anaknya yang berhak untuk menikahi istri ayahnya yang bukan ibu kandungnya jika anak tersebut menghendaki, atau ia menikahkan wanita tersebut dengan yang lain. Ketika Abu Qais bin Aslat meninggal, lalu anaknya menikahi istri ayahnya sebagai harta warisan dan ia tidak memberikan wanita tersebut harta warisan sedikitpun, maka pergilah wanita tersebut kepada Rasulullah S untuk mengadukan keadaannya, Nabi berkata kepadanya, “Kembalilah ke rumahmu, semoga Allah menurunkan firmannya untukmu”, maka turunlah firman Allah, “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang lampau,” dan kemudian juga turun firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa.... " (4) Diriwayatkan juga dari Az-Zuhri bahwasanya ia berkata, “Ayat ini turun pada sekolompok orang dari kaum Anshar, j ika seseorang dari mereka meninggal, maka orang yang paling berhak atas istrinya adalah walinya, dan walinya tersebut mengurunggnya hingga wanita itu meninggal.” (5) Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ibnu Juraij berkata, “Aku berkata kepada Atha akan firman Allah, “Dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu),” Atha berkata, “Kita pernah membicarakannya, bahwasanya ayat ini turun pada Muhammad & ketika beliau menikahi istri dari Zaid bin Haritsah, kemudian orang-orang musyrik tidak menyukai hal tersebut, maka turunlah firman Allah, “Dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (manantu),” dan kemudian juga turun firman Allah, “Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu,” juga turun firman Allah, “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang lelaki di antara kamu.” (6)

    Sumber artikel:
    Buku Asbabul Nuzul: Kronologi dan Sebab Turun Wahyu Al-Qur'an
    Buku disusun oleh Muchlis M. Hanafi (ed.)
    Buku diterbitkan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, 2017


    1. Shahih: Al-Bukhari (4579) dalam Bab At-Tafsir, Ibnu Katsir (1/614) dengan sanad yang sama.
    2. Disebutkan oleh Ibnu Katsir (1/615) dan ia menisbahkannya kepada Ibnu Mardawaih, dan juga disebuttkan oleh Ibnu Jarir (4/207).
    3. Dha’ if: Ath-Thabarani (22/53) di dalamnya terdapat Abdullah bin Muhammad bin Sa’id bin Abi Maryam, iadha’if.
    4. Disebutkan oleh Al-Wahidi dalam kitab Asbab An'Nuzul hlm. 122, dan lihat AbBaihaqi (7/161) dalam Sunan'nya.
    5. Disebutkan oleh Al-Qurthubi (2/1760).
    6. As-Suyuthi menyebutkannya sendiri di sini, dan ia menyebutkannya di tempat lain yang nanti akan disebutkan. Aku katakan, “Ibnu Katsir telah menyebutkan dua sebab turun yang lain dari ayat ini: pertama, diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwasanya seorang lelaki jika meninggal dan meninggalkan anak perempuan, maka kerabat dari lelaki tersebut akan melemparkan pakaiannya kepada anak perempuan tersebut, jika wanita tersebut cantik, maka ia akan menikahinya, akan tetapi jika menurutnya jelek, maka ia akan mengurungnya hingga wanita tersebut meninggal kemudian ia dapat mengambil harta warisannya.” Ibnu Katsir menambahkan riwayat dari AbAufi, “Bahwasanya anak perempuan itu memberikan kepada kerabat ayahnya tersebut harta sebagai imbalan untuk melepaskan dirinya, maka turunlah ayat ini.” Kedua, dahulu penduduk Yatsrib jika seorang dari mereka meninggal, maka istri lelaki yang meninggal tersebut akan diwariskan kepada orang yang diwariskan harta lelaki yang meninggal tersebut, jika ia menghendaki maka ia akan menikahinya, jika tidak, maka ia akan menikahkannya kepada yang ia inginkan. Adalah dahulu penduduk Tihamah tidak memperlakukan istri-istri mereka dengan baik hingga ketika mereka ingin menceraikannya, mereka memberikan syarat kepada istrinya untuk tidak menikah kecuali jika istri tersebut memberikan apa yang suaminya telah berikan, maka Allah melarang orang-orang mukmin untuk melakukan hal tersebut. Ibnu Katsir menisbahkannya kepada Zaid bin Aslam (614'615). Dan setelah itu ia berkata, “Ayat ini mencakup apa saja yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah.