Hukum Memindah Zakat Ke Tempat Lain

 
Hukum Memindah Zakat Ke Tempat Lain

Memindahkan Zakat ke Dalam Batas Kota

Pertanyaan :

Seseorang di dalam batas kota, memberikan zakatnya kepada orang yang di luar batas kota, termasuk memindahkan zakat, atau tidak? Dan orang yang datang dari bepergian, kemudian sewaktu matahari terbenam pada akhir bulan Ramadhan, ia belum datang di tempatnya (di luar batas kota), bolehkah ia memberikan fitrahnya kepada mustahiqqin di tempatnya?.

Jawab :

Bahwa menerimakan zakat kepada mustahiqqin di luar batas kota, bagi orang-orang yang berada di kota, itu termasuk memindahkan zakat ke lain tempat. Adapun orang yang sewaktu matahari terbenam pada akhir bulan Ramadhan belum sampai di tempatnya, maka ia wajib memberikan zakat fitrahnya kepada mustahiqqin yang berada di tempat ia berada waktu itu termasuk orang yang berkewajiban zakat fitrah, karena ia mempunyai kelebihan untuk keperluan sehari semalamnya. Apabila ia memberikan zakat fitrahnya kepada mustahiqqin yang berada di tempatnya, maka termasuk memindahkan zakat, yang tidak sah menurut kebanyakan ulama (jumhur), yaitu Qaul Azhhar dari beberapa Qaul Imam Syafi’i Ra., dan sah menurut beberapa ulama yang memperbolehkan memindahkan zakat.

Keterangan, dari kitab:

  1. Bughyah al-Mustarsyidin [1]

الرَّاجِحُ فِي الْمَذْهَبِ عَدَمُ جَوَازِ نَقْلِ الزَّكَاةِ وَاخْتَارَ جَمْعٌ الْجَوَازَ كَابْنِ عُجَيْلٍ وَابْنِ الصَّلاَحِ وَغَيْرِهِمَا قَالَ أَبُوْ مَخْرَمَةَ وَهُوَ الْمُخْتَارُ إِذَا كَانَ لِنَحْوِ قَرِيْبٍ وَاخْتَارَهُ الرَّوْيَانِيّ وَنَقَلَهُ الْخَطَّابِيُّ عَنْ أَكْثَرِ الْعُلَمَاءِ وَبِهِ قَالَ ابْنُ عَتِيْقٍ فَيَجُوْزُ تَقْلِيْدُ هَؤُلاَءِ (مَسْأَلَةٌ ي ك) لاَ يَجُوْزُ نَقْلُ الزَّكَاةِ وَالْفِطْرَةِ عَلَى اْلأَظْهَرِ مِنْ أَقْوَالِ الشَّافِعِيّ  نَعَمْ اُسْتُثْنِيَ فِي التُّحْفَةِ وَالنِّهَايَةِ مَا يُقْرُبُ مِنَ الْمَوْضِعِ وَيُعَدُّ مَعَهُ بَلَداً وَاحِدًا وَإِنْ خَرَجَ عَنِ السُّوْرِ. زَادَ ك وح. فَالْمَوْضِعُ الَّذِيْ حَالَ الْحَوْلُ وَالْمَالُ فِيْهِ هُوَ مَحَلُّ إِخْرَاجُ زَكَاتِهِ هَذَا إِنْ كَانَ قَارًّا بِبَلَدٍ وَإِنْ كَانَ سَائِرًا وَلَمْ يَكُنْ نَحْوَ الْمَالِكِ مَعَهُ جَازَ تَأْخِيْرُهَا حَتَّى يَصِلَ إِلَيْهِ وَالْمَوْضِعُ الَّذِيْ غَرُبَتْ الشَّمْسُ وَالشَّخْصُ بِهِ هُوَ مَحَلُّ إِخْرَاجِ فِطْرَتِهِ.

Pendapat mazhab (Syafi’i) yang unggul tidak boleh memindah zakat ke (daerah lain). Sekelompok ulama memilih diperbolehkan pemindahan zakat seperti pendapat Ibn ‘Ujail dan Ibn al-Shalah. Menurut Ibn Makhramah itulah pendapat yang terpilih ketika zakat diberikan kepada semisal kerabat. Pendapat tersebut dipilih pula oleh al-Rauyani. Al-Khaththabi menukilnya dari mayoritas ulama, dan Ibn ‘Atiq juga berpendapat seperti itu. Maka boleh mengikuti mereka itu. Menurut salah satu pendapat Imam Syafi’i yang lebih kuat (al-Azhhar), tidak diperkenankan memindahkan zakat (mal) dan fitrah. Dalam kitab Tuhfah dan Nihayah terdapat pengecualian untuk tempat yang berdekatan dan masih dianggap satu daerah walaupun di luar perbatasan. Al-Qurdi dan seorang ulama menambahkan: “Oleh sebab itu, tempat harta mencapai haul dan harta itu di situ, maka menjadi tempat pengeluaran zakatnya. Hal ini jika si pemilik menetap di suatu tempat, sedangkan ia bepergian dan tidak ada harta yang bersamanya, maka boleh menunda zakat hingga sampai ke tempatnya. Dan tempat terbenamnya matahari sementara seseorang berada di situ, maka tempat itu merupakan tempat zakat fitrahnya.

[1] Abdurrahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1371 H/1952 M)), h. 105.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 176 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-10 Di Surakarta Pada Tanggal 10 Muharram 1354 H. / April 1935 M.